Minggu, 23 September 2012

Minta Bebas, Vonis Tajul Muluk Malah Ditambah, KASIHAN DECH LHO

Asfinawati menilai sikap hakim sebagai ironi. Pasalnya, proses peradilan di pengadilan negeri, sebelumnya, eksaminasi publik yang dilakukan Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menilai peradilan di Pengadilan Negeri Surabaya cacat hukum.
Menurut Kantor Berita ABNA, Kuasa hukum pemimpin Syiah Sampang Ali Murtadho alias Tajul Muluk, Asfinawati, menyesalkan putusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Timur yang menjatuhkan vonis empat tahun penjara kepada Tajul. Hukuman ini dua kali lebih berat dari vonis pengadilan tingkat pertama selama dua tahun penjara.
“Ini ngaco sekali, kok malah dilipatkan jadi empat tahun,” kata Asfinawati kepada Tempo, Jumat 21 September 2012. Tim kuasa hukum heran karena upaya banding ini sebenarnya adalah untuk meminta pembebasan atas Tajul.
Asfinawati menilai sikap hakim sebagai ironi. Pasalnya, proses peradilan di pengadilan negeri, sebelumnya, eksaminasi publik yang dilakukan Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menilai peradilan di Pengadilan Negeri Surabaya cacat hukum.
Ia menuding pengadilan tidak cukup netral. “Saya mempertanyakan apakah pengadilan berpolitik dengan mengikuti arus politik sehingga menghukum Tajul lebih berat,” kata Asfinawati.
Tim kuasa hukum menyatakan akan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun, sikap untuk banding atau tidak diserahkan kepada Tajul Muluk yang kini dikurung di Lembaga Pemasyarakatan Delta Sidoarjo. “Hari ini kami akan menemui Tajul. Kalau Tajul setuju, kami kasasi,” kata Asfinawati. Pengacara juga menunggu detail salinan putusan hakim untuk dipelajari.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Timur “memperbaiki” vonis pengadilan tingkat pertama. Ajaran Syiah yang disebarkan Tajul dinilai menyimpang dari ajaran Islam dan terbukti menimbulkan keresahan masyarakat dan konflik hingga menyebabkan jatuh korban. Hukuman empat tahun ini sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum tahun lalu.
Dinilai Cacat Hukum
Majelis hakim Pengadilan Negeri Sampang, Jawa Timur, yang memvonis Tajul Muluk dengan hukuman dua tahun penjara dinilai tak profesional dan proporsional. Putusan terhadap pemimpin Syiah Sampang itu dinilai cacat hukum.
Kesimpulan tersebut diperoleh setelah sejumlah pakar hukum dari Yogyakarta mengeksaminasi putusan tersebut. "Terdapat pelanggaran terhadap unsur hukum formil dan materiil," ujar Muhammad Arif Setiawan, pakar hukum dari Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, salah seorang eksaminator, kepada wartawan di Cikini, Senin, 17 September 2012.
Selain Arif, sejumlah pakar dan penegak hukum tercatat pula dalam kelompok eksaminator. Mereka antara lain Hifdzil Alim dan Supriyadi, yang merupakan pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Kemudian ada pula advokat Zahru Arqom dan mantan hakim Sahlan Said.

Dalam hasil eksaminasi putusan setebal tujuh halaman itu, menurut Arif, tim eksaminasi menilai ada kejanggalan terhadap proses peradilan. "Ada alat bukti yang diabaikan oleh majelis hakim," ujar Zahru Arqom.
Arif, misalnya,menunjuk keterangan terdakwa dan sejumlah saksi yang diabaikan hakim. "Begitu pula dengan alat bukti berupa Al-Quran dan keterangan sejumlah saksi ahli," kata Zahru.

Tim juga menilai hakim tak berimbang menghadirkan saksi. "Hampir seluruh saksi yang diminta bersaksi mewakili kelompok," ujarnya. Alhasil, muncul kesan upaya mempertentangkan Sunni-Syiah di pengadilan. Selain itu, tim menemukan hanya ada satu saksi netral. "Namun keterangannya diabaikan," kata
Tajul Muluk sendiri oleh majelis hakim dianggap terbukti melanggar Pasal 156 a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Penistaan Agama karena dinilai telah menyebarkan ajaran sesat. Kecewa dengan vonis itu, Tajul Muluk kini mengajukan banding.
Hasil eksaminasi ini, menurut Arif, diharapkan dapat digunakan sebagai rekomendasi. "Salah satunya agar Pengadilan Tinggi memerintahkan Pengadilan Negeri Sampang untuk memeriksa saksi-saksi lain yang bersifat netral," ujar Arif. Tim eksaminator juga meminta Komisi Yudisial untuk memeriksa majelis hakim yang memutus perkara ini. "Kekeliruan majelis hakim dapat mencederai harkat dan martabat profesi," kata Arif.
Sumber: Tempo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar