Oleh: Kholili Hasib
SIMPANG-siurnya
isu tahrif al-Qur’an dalam pemikiran Syiah menjadi pertanyaan kalangan
masyarakat saat ini. Dalam kenyataannya, pustaka-pustaka standar Syiah
memuat riwayat-riwayat adanya tahrif dalam al-Qur’an. Namun pada sisi
lain, memang ada di antara pemikir dan ulama’ Syiah kontemporer yang
menolak isu tahrif al-Qur’an. Bagaimana duduk persoalannya?
Pada April 2012 lalu, Pesantren Sidogiri Pasuruan menerbitkan buku terkait isu tahrif al-Qur’an berjudul “Skandal al-Qur’an Syiah”,
ditulis oleh A. Qusyari Ismail dan Moh. Achyat Ahmad. Buku ini
merupakan buku kedua dari Pesantren Sidogiri yang mengkaji Syiah.
Sebelumnya, pada tahun 2007 pesantren bercorak tradisional ini
meluncurkan buku berjudul “Mungkinkah Sunnah-Syiah dalam Ukhuwah?”.
Buku
“Skandal al-Qur’an Syiah” menjelaskan simpang-siurnya wacana al-Qur’an
versi Syiah. Kajian ini merujuk langsung dari riwayat dan fatwa
kitab-kitab standar Syiah. Salah satu kajian yang perlu ditelisik secara
mendalam dari buku ini adalah tentang kajian kritis terhadap Mitos
Syiah tentang al-Qur’an. Qusyari Ismail dan Achyat menulis bahwa
fenomena kajian sejarah al-Qur’an di lingkungan Syiah lebih serasi
dengan tradisi keilmuan orientalis tentang al-Qur’an, ketimbang dengan
metodologi dalam tradisi Ahlussunnah.
Salah satu temuan dalam
kajian buku ini adalah, tradisi Syiah yang meyakini isu tahrif al-Qur’an
memiliki kemiripan dengan orientalis. Yakni keduanya sama-sama
mengajukan kritik terhadap orisinalitas al-Qur’an. Kritik yang mereka
ajukan seputar isu adanya penambahan dan pengurangan atau kesalahan
penempatan, dan sama-sama bermaksud memunculkan al-Qur’an tandingan yang
mereka anggap masih orisinil.
Riwayat tentang keyakinan bahwa
al-Qur’an telah berubah dalam kitab-kitab Syiah sesungguhnya cukup
melimpah. Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini yang menulis kitab hadis
al-Kafi, yang populer di kalangan Syiah, termasuk tokoh yang mengusung
tahrif al-Qur’an. Salah satu kitab tafsir Syiah menulis, “Muhammad
bin Ya’qub al-Kulaini berkata bahwa beliau berkeyakinan telah terjadi
penambahan dan pengurangan dalam al-Qur’an. Sebab beliau menulis
beberapa riwayat akan masalah ini dalam al-Kafi dan sedikitpun beliau
tidak menyanggahnya, di samping beliau telah berikrar di awal kitabnya
akan ke-tsiqah-an seluruh riwayat yang ditulisnya. Begitu pula gurunya,
Ali bin Ibrahim al-Qummi.” (Skandal al-Qur’an Syiah hal.110).
Dalam buku sebelumnya, “Mungkinkah Sunnah-Syiah dalam Ukhuwah”?,
tim penulis Sidogiri mengutip temuan Prof. Dr. Ahmad bin Sa’ad Hamdan
al-Ghamidi bahwa ada sekitar 30 ulama’ Syiah kenamaan yang mengusung
kepercayaan tahrif al-Qur’an. Literaltur lain menyebut angka 40 ulama’
Syiah klasik yang meyakini tahrif al-Qur’an. Jumlah ini, diyakini telah
memenuhi konsensus/ijma’ ulama klasik Syiah.
Menurut kepercayaan
mereka, ayat-ayat al-Qur’an yang asli jauh lebih banyak daripada mushaf
Ustmani. Al-Kulaini berkata, “Dari Abi Abdillah, beliau berkata;
Sesungguhnya ayat-ayat al-Qur’an yang dibawa oleh Jibril as, kepada Nabi
Muhammad Saw adalah sebanyak 17.000 ayat” (al-Kafi II/634). Dalam
sejumlah riwayat melaporkan, ada sejumlah ayat yang didistorsi oleh para
sahabat. Seperti an-Nu’mani meriwayatkan; “Dari Jabir, dari al-Shadiq,
dari Amirul Mu’minin ketika memberikan contoh ayat al-Qur’an yang
didistorsi. Amirul Mukimini berkata, ‘ contohnya adalah surah Amma
(an-Naba’): “Orang kafir berkata, Alangkah baiknya sekiranya dahulu aku
adalah pengikut Abu Thurab”. Lalu mereka mengubah kalimat “thurabiyyan” menjadi “thuraba” (debu). Namun yang benar adalah “thurabiyyan, karena Rasul sering memanggilku dengan panggilan Abu Thurab”.
Selain itu, Syiah melemparkan tuduhan kepada Ahlus Sunnah bahwa ayat-ayat yang dinasakh – dalam keyakinan Ahlus Sunnah – dinilai sebagi men-tahrif al-Qur’an.
Seperti kata al-Khu’i, “Karena itu maka bisa kita katakana bahwa
pendapat yang menyatakan telah terjadi distorsi dalam al-Qur’an
merupakan pendapat kebanyakan ulama Ahlussunnah, karena mereka
menyatakan bolehnya nasakh tilawah dalam al-Qur’an” (al-Bayan, 244).
Tampak di sini Syiah tidak memiliki pemahaman konsep nasakh, seperti diyakini Ahlus Sunnah. Nasakh dianggap sama dengan tahrif. Sedang, Ahlus Sunnah membedakannya. Dalam konsep nasikh-mansukh, ayat-ayat yang dimansukh, baik
dari segi hukum maupun bacaannya, dihapus dalam mushhaf al-Qur’an,
bukan atas inisiatif manusia, akan tetapi semata-mata kehendak Allah
yang menurunkan al-Qur’an, melalui Nabi-Nya, Muhammad saw. Jadi yang
menghilangkan ayat-ayat itu adalah Allah. Sedangkan Tahrif berarti adanya perubahan terhadap teks al-Qur’an yang dilakukan oleh manusia, sepeninggal Nabi Muhammad Saw.
Riwayat
yang sama banyak terdapat dalam kitab-kitab Syiah. Buku Sidogiri
menyebut di antaranya; Tafsir al-Qummi, Tafsir al-Ayyasyi, Furat
al-Kufi, al-Kafi, dan Fashul Khitab.
Kritik yang hampir sama diajukan oleh sejumlah orientalis. John Wansbrough dalam bukunya “Quranic Studies” berpendapat
bahwa al-Qur’an yang sekarang merupakan produk perkembangan tradisi
dalam periode periwayatan panjang. Ia telah mengalami distorsi oleh para
perawi. Bahkan dinilai kitab fiksi hasil rekayasa kaum Muslimin
generasi awal. Christoph Luxenberg dengan menggunakan metode filologis
menyimpulkan al-Qur’an sekarang telah mengalami kesalahan-kesalahan
bahasa. Karena bahasa asli, katanya, adalah Syiriak bukan Arab (baca
Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an karya Adnin Armas). Kalangan
orientalis juga menggunakan riwayat nasikh-mansukh sebagai dalil bahwa
al-Qur’an telah mengalami distorsi sejak lama.
Selain itu, dalam
persoalan pengurangan dan kekeliruan sejumlah ayat, Syiah dan orientalis
juga bermaksud memunculkan al-Qur’an tandingan. Dalam akidah Syiah,
al-Qur’an yang orisinil disebut Mushaf Fathimah. Selain Mushaf Fathimah,
Syiah juga meyakini, riwayat-riwayat asli al-Qur’an pernah terkumpul
dalam Mushaf Ali bin Abi Thalib. Sedang di kalangan orientalis, terdapat
nama Arthur Jeffery dan penerusnya Otto Pretzl dari Jerman yang pernah
berusaha menyusun "Al-Qur’an Edisi Kritis" (a Critical Edition of the Qur’an).
Al-Qur’an
tandingan itu hingga kini tidak pernah ada. Mushaf yang konon
dikumpulkan Fathimah dan Ali tidak pernah muncul ke permukaan. Menurut
keyakinan Syiah, al-Qur’an versi Syiah itu akan dibawa oleh Imam
al-Mahdi versi mereka menjelang hari Kiamat. Sedang, al-Qur’an edisi
kritis yang berusaha disusun Jeffery dan Pretzl pun gagal total. Karena
musnah ketika perang Dunia ke-II.
Lantas bagaimana dengan
kalangan Syiah yang menolak adanya distorsi atau tahrif al-Qur’an? Di
antara nama-nama kondang di kalangan Syiah yang mengingkari tahrif,
adalah; Ibnu Babawaih, Muhammad bin Hasan at-Thusi, at-Thabrasi,
Ni’matullah al-Jaza’iri, dan lain-lain.
Yang menjadi pertanyaan
adalah, bagaimana status keyakinan tentang al-Qur’an sedangkan sederet
ulama’-ulama’ tersebut mengagumi pembesar-pembesar klasik Syiah, seperti
al-Kulaini, dan al-Majlisi – yang keduanya terang-terangan meyakini
distorsi al-Qur’an. Bahkan kitab-kitabnya menjadi rujukan primer, dan
disebut sebagai kitab yang bisa dijadikan referensi. Ada semacam
kontradiksi di sini.
Ketika terjadi simpang-siur informasi
seperti ini perlu kiranya pendapat Ni’matullah al-Jazairi dalam kitab
Anwar al-Nu’maniyyah diperhatikan, “Yang jelas bahwa pendapat tidak
adanya tahrif dalam al-Qur’an digulirkan oleh sebagian tokoh Syiah
karena terdapat banyak kemaslahatan. Di antaranya untuk menutup
rapat-rapat pintu celaan yang akan dilancarkan kepada mereka bahwa jika
tahrif ini terjadi dalam al-Qur’an, maka bagaimana bisa ia dijadikan
pijakan untuk kaidah dan hukum-hukumnya”. Ahmad Sulton, ulama’ Syiah
lainnya, berpendapat bahwa pengingkaran tokoh-tokoh Syiah tentang tahrif
hanyalah taqiyyah belaka (Skandal al-Qur’an Syiah hal. 149).
Dengan
data-data seperti itu, maka banyak peneliti di kalangan Ahlussunnah
menyimpulkan bahwa pengingkaran Syiah terhadap distorsi al-Qur’an
hanyalah topeng taqiyah yang digunakan ulama’ kontemporer Syiah.
Perkara apakah benar mereka taqiyah atau tidak. Bahwa ada Syiah yang mengingkari tahrif itu adalah fakta. Tapi, yang jelas, mestinya jika Syiah menolak tahrif al-Qur’an,
maka mereka seharusnya berlepas diri dari pendapat-pendapat ulama’
klasik syiah dan menolak kitab-kitab standarnya. Jika tidak, tetap saja,
isu ini lebih menguat kepada penilaian taqiyah belaka, seperti yang
disimpulkan dalam buku Sidogiri tersebut.
Pertanyaan berikutnya
yang perlu dicamkan adalah, bagaimana Syiah menggunakan mushaf Ustmani
sekarang ini, sedangkan Ustman bin Affan, yang mengodifikasi Mushaf itu
dicerca dan dinista? Apakah ini bagian dari praktik taqiyah? Maka, kita tunggu Syiah melepaskan sikap eksklusifnya, lebih terbuka dan jujur.*
Penulis adalah alumni ISID Gontor, peneliti InPAS, Surabaya
Red: Cholis Akbar-hidayatullah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar