Terjadilah jawab jinawab antara penerjemah
dengan sopir. “Apa yang dia
katakan,”kata turis Perancis itu.
“Dia akan membunuhmu jika
melaporkan ke polisi,”jawab pengantar.
“Lalu, apa yang anda katakan
lagi,”kata sang turis
“Saya bilang kalau bunuh
turis itu, bunuh saja,”jawabnya.
“Hah!”si turis terperangah.
“Iyalah, kalau saya atau
sopir yang dibunuh sopir tak akan berbuat apa-apa, tapi kalau orang asing yang
dibunuh, polisi bakal menangkap si pembunuh itu,”katanya. Sopir angkot itu
langsung diam.
Karena desakan sang turis, mereka
akhirnya ke kantor polisi juga. Di kantor polisi bukan mendapat perlindungan,
polisi malah menjawab,”kalau saya tindak sopir angkot itu, kantor kami bisa
dibakar.” Dia menyebut suatu peristiwa yang pernah terjadi sebelumnya.
***
Orang-orang Madura pernah merasakan
pembantaian yang mengarah
ke pembersihan etnis di Sampit, Kalimantan Tengah
beberapa tahun lalu. Ethnic cleansing pernah dilakukan sub etnik Dayak
terhadap sekelompok Madura yang tinggal di Bengkayang, Landak, dan Sanggau.
Insiden ini terjadi berlangsung sekitar dua bulan, dari Januari hingga Februari
1997. Usai rezim Orde Baru berakhir,
terjadi lagi kali ini satu sub-etnik Melayu melakukan etnic cleansing terhadap
sekelompok Madura yang tinggal di Sambas pada Februari hingga Maret 1999, saat Orde
Reformasi baru mulai berdiri.
Jadi sungguh mengherankan jika sekelompok orang menamakan ummat
Islam Sunni di Sampang, Madura mengusir, membunuh dan membakari
rumah sekelompok ummat Islam di Sampang, Madura, yang dituduhnya
penganut Syiah. Padahal masyarakat Madura dikenal sebagai pekerja yang
ulet, rajin, ramah dan tingkat keberagaman yang tinggi. Semiskin-miskinnya
orang Madura, masjid ada di tiap kampong dan bagus, serta tingkat keinginan
pergi haji ke Mekkah yang tinggi.
Belakangan menurut Taufiqurraman dalam Islam dan
Budaya Madura terjadi perilaku menyimpang (diviasi) dari ajaran yang dianutnya,
seperti, antara lain: sebagian pedagang Madura berjualan tidak sesuai dengan
spesifikasi yang diucapkan (dijanjikan), tindakan premanisme, penghormatan
berlebihan atau kultus individual pada figur kiai, ketersinggungan yang sering
berujung atau dipahami sebagai penistaan harga diri, perbuatan heretikal,
temperamental, reaktif, keras kepala, dan penyelesaian konflik melalui tindak
kekerasan fisik (biasa disebut carok).
Nah, sifat di kampungnya ini kemudian terbawa saat
berada di negeri rantau. Sehingga keberadaan orang Madura pada suatu daerah
membawa konflik. Terutama pada pengambilan lahan milik orang lain. Semula
datang baik-baik (sopan), diberi tempat sementara, menguasai tanpa hak dan
sulit disuruh keluar dari tempat itu. Sehingga pemilik lahan seringkali
mengunakan pihak lain untuk mengusir Madura. Dalam beberapa kasus orang Madura
takut kepada Marinir dibandingkan polisi.
Di Cakung, Jakarta,
orang Madura seringkali bentrok dengan kelompok organisasi massa Islam etnis setempat. Tentu saja bisa
karena perebutan lapak (tempat usaha) dan perbuatan licik yang disebutkan di atas.
Juga di daera-daerah lain dimana ada komunita Madura.
diambil dari tulisan Ahmad Taufik, mahasiswa program magister FISIP Universitas Padjadjaran, Bandung dan sudah diubah seperlunya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar