Rabu, 06 Juni 2012

Api Kebencian dalam Sekam | oleh Muhammad Iqbal, sebuah Propaganda Pembelaan terhadap Syiah

Artikel ini merupakan laporan yang dicuplik dari news letter Syahadah (Edisi 13 | Oktober 2011) yang diterbitkan oleh Center for Marginalised  Communities Studies, Surabaya. Persekusi terhadap komunitas Syi’ah di Sampang Madura yang sudah berlangsung sejak 2004 ini mungkin dapat memberikan gambaran yang lebih utuh ketimbang pemberitaan media massa akhir-akhir ini, terkait dengan penyerangan dan pembakaran pesantren dan rumah jamaah Syi’ah di Dusun Nangkrenang, Sampang yang berlangsung pada 17 dan 29 Desember kamarin. Beberapa artikel lain yang terkait, termasuk penangkapan Andreas Harsono dan Tirania Hasan dari Human Rights Watch dimuat lengkap dalam buletin Syahadah bisa diunduh di sini:
Kasus penyesatan terhadap jamaah Syi’ah di Dusun Nangkrenang, Karang Gayam, Omben, Sampang, seperti kisah berseri. Tuduhan bahwa Syi’ah merupakan sekte Islam yang sesat dan menyesatkan sudah mencuat sejak 2004. Saat itu, sejumlah kyai Nahdlatul Ulama (NU) di Omben ‘men ghasut’ masyarakat terkait dengan aktivitas dakwah yang dilakukan oleh Ali Murtadho alias Tajul Muluk, Ketua Ikatan Jamaah Ahl al-Bait (IJABI) Sampang.

Pada 2006, hasutan itu makin meluas. Masyarakat Omben terbakar amarahnya, dan tergerak untuk melakukan serangan di kediaman Tajul Muluk. Sekitar 7000an massa bersenjata tajam mengepung Nangkrenang saat itu. Meski demikian, konflik fisik tidak benar-benar terjadi karena massa akhirnya membubarkan diri setelah puas mengintimidasi dan mencemooh jamaah Syi’ah.

Ketegangan muncul kembali pada bulan Oktober 2009. Sejak bulan Ramadhan 2009, muncul desas-desus akan ada serangan lebih besar yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan diri sebagai ahl al-sunnah wa al-jamaah. Situasi Nangkrenang sangat memanas pada saat itu. Tajul Muluk sendiri mengaku dipanggil para kyai NU untuk dimintai klarifikasi soal ajaran dan aktifitas dakwah yang dilakukan.

Pada kesempatan wawancara dengan Syahadah pada bulan Oktober 2009, Tajul Muluk mengaku bahwa pertemuan dengan para kyai NU sebenarnya tidak menghasilkan kesepakatan apapun. Hal ini karena bertemuan berlangsung searah. Para kyai menghujani pertanyaan dan tuduhan sesat terhadap Muluk. “Ada 32 tuduhan sesat yang dialamatkan pada saya,” tegas Muluk kala itu.

Pertemuan inilah yang disebut-sebut sebagai kesepakatan antara Tajul Muluk dan kelompok ahl al-sunnah wa al-jamaah. Para kyai NU meyakini bahwa Muluk telah bersepakat untuk menghentikan semua aktifitas dakwahnya. Tentu saja, hal ini secara terang-terangan ditolak oleh Muluk. Dirinya merasa tidak pernah meneken kesepakatan apapun dengan kelompok mayoritas.

Hasutan bahwa Muluk menyebarkan ajaran sesat tidak pernah berhenti. Api kebencian terhadap Muluk dan jamaah Syi’ah terus berkobar dan semakin meluas. KH. Bukhori Ma’sum, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sampang, menyatakan bahwa sejak Desember 2010 situasi di Omben mulai memanas lagi. Banyak kelompok masyarakat yang melapor pada MUI soal aktifitas dakwah Muluk.

***

Api itu benar-benar berkobar kembali pada 4 Mei 2011. Massa ahl al-sunnah wa al-jamaah kembali bergejolak. Mereka mengepung Nangkrenang. Kali ini alasannya, mereka kebera­tan dengan rencana peringatan Maulid Nabi Muhammad yang dilakukan oleh jamaah Syi’ah di kediaman Muluk.

Hasutan, Intimidasi, dan Blokade

Sedianya, peringatan Maulud Nabi itu akan dihadiri oleh jamaah Syi’ah dari berbagai tempat di daerah Omben. Acara akhirnya batal dilaksanakan karena ratusan massa meng­hadang rombongan yang datang hendak menghadiri acara. Ratusan orang bersenjatakan clurit, parang, pentungan dan pelbagai benda tajam lainnya tidak hanya menghadang rom­bongan yang hendak datang ke rumah Tajul Muluk, tetapi juga siap melakukan serangan ke Nangkrenang bila acara tersebut benar-benar dilaksanakan.

Massa sudah berkumpul sejak pukul 19.00 WIB. Mereka membuat blokade di pintu masuk Dusun Nangkrenang. Mereka tidak berhenti melakukan teror terhadap jamaah Syi’ah yang datang dari luar Nangkrenang. Jamaah Syi’ah dari luar tidak bisa masuk dusun tersebut.

Dalam kesempatan wawancara dengan Syahadah pada 6 April 2011 (via telepon), Tajul Muluk menjelaskan bahwa peristiwa 4 April 2011 tesebut hanyalah satu mata rantai dari rangkaian teror dan ancaman yang hampir setiap hari diterima oleh jamaah Syiah di Nangkrenang. Tidak seperti diberitakan banyak media, teror dan ancaman pada hari Senin itu, tidak terjadi secara spontan, melainkan dikonsolidasi oleh kekuatan ormas Islam dan tokoh agama di Sampang.

Menurut Muluk, panasnya situasi di Omben lebih dikarena­kan oleh fitnah yang disebarkan secara intensif sejak 2006. Ada usaha yang dilakukan terus menerus untuk menetapkan Syiah sebagai ajaran sesat. Muluk yakin kebencian warga sengaja dibakar oleh para tokoh masyarakat dan para kyai setempat.

Pada kesempatan wawancara bulan Oktober 2009, Muluk secara terang-terangan menyebut bahwa, di balik semua teror dan intimidasi yang dilakukan oleh kelompok Ahl al-Sunnah wal Jamaah, tidak terlepas dari peran KH. Ali Karar, pengasuh Pondok Pesantren (PP) Darut Tauhid, dan H. Jamal (alumni PP Sidogiri Pasuruan), serta Abdul Malik, Bahram, dan Mukhlis. Ketiga orang yang disebut terakhir adalah mantan santri Kyai Ka ra r.

Hasutan yang tidak kunjung berakhir itu, berhasil membakar kemarahan mayoritas orang. Kini, konsolidasi kelompok anti­Syiah semakin menguat, tidak hanya di Omben, tetapi juga di seluruh Sampang. Teror dan ancaman massa tidak hanya disokong oleh tokoh agama dan kyai lokal di Omben, tetapi juga didukung oleh Silaturrahmi Ulama Madura (Basra) Sam-pang. Ormas pimpinan KH. Kholil Halim ini menjadi kekuatan baru yang ikut melakukan teror, dan mendesak agar jamaah Syi’ah segera meninggalkan Sampang .

Betapapun teror dan ancaman semakin meningkat eskalas­inya, jamaah Syiah di Nangkrenang tetap bergeming dan tidak akan meninggalkan Omben meski selalu dibayang-bayangi teror dan penyerangan. Aparat Polres Sampang mengambil langkah untuk bersiaga di Nangkrenang. Di samping berjaga­jaga di pintu masuk dusun tersebut, Polres Sampang akhirnya juga membawa—untuk tidak menyebutnya menangkap—TajulMuluk menuju Polres Sampang.

Hasutan yang tidak kunjung berakhir itu, berhasil membakar kemarahan mayoritas orang. Kini, konsolidasi kelompok anti-Syiah semakin menguat.
Mediasi = Penghakiman

Pada Selasa, 5 April 2011, Muspida Kabupaten Sampang berinisiatif untuk melakukan mediasi. Bupati dan Wakil Bupati Sampang bersama dengan jajaran pimpinan daerah ikut dalam pertemuan tersebut. Kapolda Jawa Timur saat itu, Irjen Untung S. Radjab juga ikut memediasi pertemuan antara Tajul Muluk dengan tokoh-tokoh agama di Sampang. Dari kalangan tokoh agama, hadir KH. Muhaimin Abd Bari [Ketua PCNU Sampang]; KH. Syafiduddin Abd Wahid [Rais Syuriah NU]; KH. Bukhori Ma’sum [Ketua MUI Sampang]; hadir juga KH. Zubaidi Muham­mad, KH. Ghazali Muhammad dan beberapa ulama lainnya.

Pertemuan berlangsung di Pendopo Kabupaten. Menurut pengakuan Tajul Muluk, alih-alih melakukan mediasi, perte­muan dengan jajaran pimpinan daerah tersebut justru menjadi arena penghakiman terhadap Tajul Muluk dan jamaah Syi’ah. Menurut Muluk, para pimpinan daerah malah ikut menghakimi keyakinan jamaah Syi’ah. Muspida ikut melakukan desakan agar Muluk menerima berbagai opsi yang ditawarkan oleh MUI, PCNU, dan Basra.

Para tokoh agama yang mewa kili ormas masing-masing, tidak sekadar menyesatkan aja ran dan aktifitas dakwah yang dilakukan oleh Muluk, lebih dari itu Muluk dituduh melanggar kesekapatan yang sudah ditekennya pada 2009. Merujuk pada cerita Muluk, pada tahun 2009 kelompok Ahl al-Sunnah wal Jamaah yang dipimpin KH. Ali Karar pernah berdialog deng­annya. Kyai Karar dan para tokoh agama lain pada waktu itu mendesak agar Tajuk Muluk menghentikan aktifitas dakwah­nya karena dianggap menyimpang. Tajul Muluk mengaku bahwa pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan apapun karena yang terjadi adalah penghakiman sepihak yang dilakukan oleh kelompok Ahl al-Sunnah wal Jamaah.

Kini, tokoh-tokoh MUI, PCNU, dan Basra menuduh bahwa, Tajul Muluk sudah melanggar kesepakatan yang sebenarnya tidak pernah ada. KH. Bukhori Ma’sum, misalnya, menuduh bahwa Muluk telah melanggar kesepakatan karena faktanya masih tetap melakukan dakwah Syiah kepada masyarakat seki­tar. “Muluk telah melanggar kesepakatan yang ditandatangani bermaterai,” jelas Bukhori Ma’sum kepada Syahadah.

Tentu saja tuduhan tersebut tidak benar. Berdasarkan pengakuan Muluk kepada Syahadah, Ia tidak pernah menyepa­kati desakan ulama di Omben untuk menghentikan aktifitas  dakwahnya. Lebih penting dari itu semua, dakwah yang dilakukan oleh Muluk hanya berlangsung di kalangan internal jamaah IJABI.

Tokoh-tokoh MUI, PCNU, dan Basra memilih menutup mata dan telinga atas penjelasan Muluk. Mereka bersikukuh untuk menawarkan opsi yang sama pada Tajul Muluk—sebagaimana opsi yang berulang kali didesakan kepada Muluk. Opsi itu adalah: [1] menghentikan semua aktifitas Syi’ah di wilayah Sampang dan kembali ke paham Sunni; [2] diusir ke luar wilayah Sampang tanpa ganti rugi lahan/aset yang ada; [3] jika salah satu dari 2 opsi tersebut di atas tidak dipenuhi, berarti jamaah Syi’ah Sampang harus mati.

Petemuan bersama Muspida dan Kapolda Jatim pada Selasa (5/4/2011) itu berakhir tanpa kesepakatan. Opsi-opsi yang ditawarkan oleh para ulama secara tegas ditolak oleh Muluk. Seperti sebelumnya, jamaah Syi’ah di Omben bergeming. “Kami tetap dengan keyakinan kami, tidak ada hak bagi kelompok manapun untuk mengusir kami dari Sampang,” tegas Muluk kepada Syahadah.

Harga Mati

Usai pertemuan dengan Muspida, Kapolda, dan para tokoh agama, Muluk tetap ‘mendekam’ di Polres Sampang. "Saya sekitar 12 hari telah diamankan petugas dan sampai saat ini saya masih berada di rumah dinas Kasat Intel Polres Sampang, AKP Ipal Faruq" keluh Muluk. Ketika Muluk ‘ditahan’ paksa, konspirasi untuk mengusir Muluk dari Sampang terus berlangsung. Tentu saja pemerintah dan para ulama tidak menyebutnya sebagai pengusiran, tetapi hijrah (paksa).

Mobile phone Muluk sudah tidak pernah bisa dihubungi lagi oleh Syahadah sejak tanggal 10 April 2011. Baru tanggal 16 April 2011, tersebar desas-desus bahwa Muluk telah dipindah di Kelurahan Sawojajar, Malang, Jawa Timur. Kepada wartawan, Muluk mengaku bahwa desas-desus itu benar adanya. Tentu berita ini kontras dengan sikap Muluk sebelumnya. Pada tanggal 6 April 2011, Muluk masih berge ming, dan bertekad tidak akan meninggalkan Sampang. Setelah 12 hari ‘mendekam’ di Polres Sampang, tiba-tiba sikap Muluk berubah dan menerima desakan pengusiran atas dirinya.

“Sementara saya dipindahkan ke Malang biar situasinya tidak menegangkan,” hanya kalimat ini yang disampaikan Muluk ketika dikonfirmasi media. Selama tinggal di Malang, Muluk mengaku didampingi salah satu anggota kepolisian dari Polres Sampang.

Penundukan terhadap Muluk dan jamaah Syi’ah memang dilakukan secara berjamaah baik oleh pemerintah, ormas Islam, dan para tokoh agama. Selama Muluk di Polres Sampang, para tokoh agama dari representasi MUI, PCNU, Basra terus menggalang dukungan masyarakat untuk mengusir Muluk.

MUI bahkan mengumpulkan ribuan tanda tangan masyarakat untuk menyepakati pengusiran Muluk. “Tanda tangan bahwa Syi’ah yang ada di Karang Gayam ini harus ditolak dan aktornya itu harus dikeluarkan dari sana,” seru KH. Bukhori Ma’sum, Ketua MUI Sampang, kepada Syahadah.

Para tokoh agama dan ormas Islam sudah bulat. Tajul Muluk harus keluar dari Sampang. Kebulatan tekad inilah yang menciutkan nyali Polisi dan Pemerintah Daerah. Institusi negara akhirnya benar-benar gagal menjamin keselamatan Muluk, danmemilih tunduk pada tekanan massa.

KH. Syafidudin Abd Wahid, Ketua Rais Syuriah PCNU Sampang, menyampaikan bahwa rencana pengusiran Muluk sebenarnya sudah berlangsung lama, akan tetapi Pemerintah tidak berani karena takut melanggar HAM. Menurut sang kyai, faktor inilah yang menjadikan “konflik Syi’ah dan NU berlarutlarut dan tak kunjung selesai.” Meski demikin, pengusiran itu tetap tidak terelakan. Pemerintah kalah oleh tekanan massa.

Muluk memang sudah meninggalkan Sampang sejak 16 April 2011, akan tetapi proses negosiasi para ulama dan pemerintah belum sepenuhnya selesai. Pada 28 Mei 2011, ulama se-Madura mengadakan pertemuan di PP Darul Ulum, pimpinan KH. Syafidudin Abd Wahid. Pertemuan tersebut merupakan tindak lanjut dari rencana pengusiran Muluk. Pertemuan membahas tentang tanda tangan dukung ribuan warga Sampang yang menolak keberadaan jamaah Syi’ah di Nangkrenang.

Pertemuan tersebut dihadiri oleh Muspida, Polda Jatim, Mabes POLRI, dan Slamet Effendi Yusuf yang mewakili MUI pusat. Dalam pertemuan itu, para ulama tetap mendesak Pemerintah Kabupaten Sampang untuk segera mengusir Muluk dari Nangkrenang. Usulan dan desakan MUI berdasarkan tanda tangan ribuan warga yang anti-Syi’ah dan telah dimusyawarahkan bersama dengan ulama se Madura, MUI se-Madura.

MUI bahkan mengumpulkan ribuan tanda tangan masyarakat untuk men yepakati pen gusiran Muluk. “Tanda tangan bahwa Syi’ah yang ada di Karang Ga yam ini harus ditolak dan aktornya itu harus dikeluarkan...”

Beberapa poin desakan tersebut adalah: [1] Kami, MUI se-Madura menyatakan bahwa aliran Syi’ah yang ada di Karang Gayam itu sesat dan menyesatkan; [2] Kami, MUI se-Madura meminta kepada pemerintah agar Tajul Muluk segera direlokasi.

Para tokoh agama juga menyampaikan desakan ini kepada Gubernur Jawa Timur. Tanpa desakan inipun, Bupati Sampang, Nur Tjahja, sudah berkoordinasi dengan Gubernur Jawa timur, Soekarwo. Bupati menegaskan bahwa Pemerintah Kabupaten Sampang siap untuk merelokasi jamaah Syi’ah pimpinan Tajul Muluk ke lokasi yang mereka inginkan. Bupati berdalih bahwa, relokasi tersebut dalam rangka memberikan keamanan dan kebebasan bagi mereka dalam menjalankan kepercayaannya.
Koordinasi ini membuahkan hasil. Gubernur Jatim tidak hanya menyetujui, tetapi juga bersedia share alokasi dana yang dibutuhkan untuk melakukan relokasi. Kepada media Nur Tjahja mengaku sudah melapor kepada Gubernur Jawa Timur Soekarwo, soal rencana relokasi tersebut. "Ia mendukung langkah relokasi tersebut," tegasnya.

Pemerintah,sepertinya tidak mau ambil pusing atas desa-kan MUI Sampang. Melalui Asisten I Gubernur Jawa Timur, Soekarwo menyetujui rencana pengusiran tersebut. Kepada Syahadah, KH. Syafidudin Abd Wahid mengaku ditelepon sendiri oleh Asisten I Gubernur Jatim bahwa, Soekarwo sudah menyetujui rencana relokasi tersebut.

“Waktu itu Asisten I Gubernur bilang ke saya (melalui tele-pon), kalau Gubernur sudah menyetujui rencana sharing biaya perelokasian. Rumahnya, tanahnya dibelikan. Mungkin ratusan juta itu anggarannya untuk perelokasian,” cerita Kyai Syafi, panggilan akrab KH. Syafidudin Abd Wahid, kepada Syahadah.

Pada awal Ramadhan, 7 Agustus 2011, Muluk berencana pulang kampung. Seperti kebiasaan muslim di Indonesia, awal Ramadhan selalu dilalui bersama dengan keluarga. Kebiasaan ini juga yang mendorong Muluk untuk kembali ke Nangkrenang. Sayangnya, baru masuk di daerah itu, Muluk kembali ditangkap oleh Polisi. Muluk kembali mendekam di Polres Sampang. Jalan menuju kampung halaman tidak hanya terjal, tetapi hampir tertutup untuk Muluk. Ia dikirim kembali ke tempat ‘relokasi’.

Polisi selalu membenarkan tindakan penangkapan paksa itu atas nama keamanan. Polisi selalu tunduk pada desakan massa, dan memilih menangkap dan mengisolasi korban. Tindakan inilah yang selalu diargumentasikan sebagai upaya meredam konflik. Kapolres Sampang, Madura, Jawa Timur, AKBP Agus Santosa, kepada media menegaskan, “kami (Polisi) terus berkoordinasi dengan semua pihak, termasuk dengan Pemkab dan TNI untuk meredam kasus ini."

Panopticon

Genap sudah cerita penundukan terhadap jamaah Syi’ah di Sampang. Setelah Muluk diusur dari kampung halamannya, Nangkrenang menjadi wilayah yang diisolasi dan dijaga ketat. Tidak hanya polisi, tetapi TNI juga turun tangan. Pemerintah dan ulama juga menjadikan Nangkrenang tidak hanya sebagai wilayah terisolasi, tetapi juga terpantau dan terkontrol sehingga sulit diakses. Bukan hanya akses jalan raya yang sulit menuju Nangkrenang, tetapi akses informasi juga tertutup rapat.

Pada 18 September 2011, Andreas Harsono dan Tirania Hassan (keduanya dari Human Rights Watch) hendak melakukan investigasi dan mengumpulkan informasi di Nangkrenang. Belum tuntas investigasi dilakukan, sekitar pukul 15.00 WIB, lima orang petugas polisi datang dengan menaiki motor. Andreas dan Tirania diminta datang ke Kantor Kecamatan, lalu ke Kapolsek dan Danramil. Setelah itu mereka juga diminta datang ke Polres Sampang.

Polisi akhirnya menahan mereka untuk diinterogasi. Selama di Polres Sampang mereka diinterogasi sampai pukul 01.00 dini hari. Polisi berdalih bahwa penangkapan itu karena Tirania sebagai warga asing tidak membawa passport. Padahal keduanya sudah meyakinkan bahwa passport ketinggalan di hotel, dan Polisi bisa mendapatkan kiriman faximile dari hotel. Sekitar pukul 03.00 WIB, polisi memutuskan untuk memindahkan Andreas dan Tirania ke Kantor Imigrasi Tanjung Perak, Jl. Darmo Indah No. 21, Surabaya. Keduanya diusir paksa oleh polisi untuk keluar dari Nangkrenang.

Cerita tersebut cukup menggambarkan betapa daerah itu benar-benar dijaga untuk tidak bisa diakses oleh pihak luar. Bukan hanya Polisi yang menjaga Nangkrenang tetap steril, masyarakat juga tidak kalah paranoidnya. Sesudah Andreas dan Tirania masuk Nangkrenang, jalan menuju Dusun itu langsung dilubangi oleh warga agar keduanya tidak bisa keluar. Pada 16-17 Oktober 2011, Syahadah yang hendak melakukan investigasi juga merasakan hal sama. Tidak ada satupun orang di Omben yang tidak memberikan tatapan curiga pada orang asing yang hendak memasuki Nangkrenang.

Akses informasi ditutup rapat tidak hanya oleh warga, tetapi juga Polisi. Ketika Syahadah melakukan konfirmasi kasus ini kepada Kasat Intel Polres Sampang, AKP Ipal Faruq, dengan segera petinggi Polres Sampang tersebut menutup pembicaraan dengan alasan, tidak terjadi konflik apapun di Sampang.

Demi menutup semua informasi, polisi berdalih bahwa Sam-pang kondusif dan tidak ada gejolak apapun. Betapapun kasus Syi’ah sudah menjadi isu nasional, akan tetapi Polisi tetap berusaha menutup-nutupi peristiwa-peristiwa pelanggaran yang terjadi di Nangkrenang.

Sudah tujuh bulan Nangkrenang ditinggal oleh imamnya, Tajul Muluk. Meski begitu, bukan berarti situasi di sana amanaman saja. Pemerintah dan MUI masih punya agenda yang belum tuntas. Daerah itu tetap diawasi, dikontrol, dan hendak ‘diinsyafkan’.

Menurut KH. Bukhori Ma’sum, Ketua MUI Sampang, sejak kepergian Muluk, jamaah Syi’ah yang berada di Nangkrenang terus diawasi dan dipantau oleh pemerintah. Pada kesempatan wawancara dengan Syahadah, Bukhori mengakui bahwa agenda pemerintah di Nangkrenang belum selesai. Rencananya, akan ada “program penyuluhan dan bimbingan agar penganut Syi’ah kembali ke jalan yang benar, sesuai dengan aqidah Ahl al-Sunnah wal al-Jamaah.”

Nangkrenang adalah cerita yang sempurna tentang penun-dukan atas nama kebenaran mayoritas. Pemerintah, MUI dan berbagai ormas Islam, Polisi dan TNI, serta masyarakat secara berjamaah mengadili keyakinan sekelompok orang, mengusir dan meminggirkan, lalu memaksa kelompok minoritas itu untuk menanggalkan keyakinan mereka.
sumber : facebook.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar