Kamis, 07 Juni 2012

Syiah dan Sejarah Panjang Kekerasan, benarkah?

Wajah Islam di Indonesia hari ini telah gagal menunjukan sisi humanismenya. Penjagalan atas nama tuhan masih terjadi. Dan penindasan yang dilakukan sekelompok manusia fasis masih saja ada. Parahnya adalah negara mendiamkan atau dalam beberapa kasus mendukung penindasan ini. Mungkin benar apa kata penyair Jerman Bertold Brecht dalam salah satu syairnya. Bahwa dunia sedang berrada di masa gelap.
Jika almarhum Abdurahman Wahid masih hidup, mungkin ia akan sangat kecewa, marah dan kesal atas apa yang telah terjadi di Sampang, Madura. Muslim yang mayoritas berasal dari golongan cendekia Nahdlatul Ulama sejak lama dikenal dengan keramahannya terhadap perbedaan. Saya melihat ini bukan tanda-tanda dekadensi NU, melainkan kegagalam kita sama dalam memaknai perubahan zaman dengan sikap welas asih.
Permasalahan di Sampang memang jauh dari sederhana: perihal klaim salah satu kelompok yang mengklaim pewaris tunggal kebenaran ilahi; perihal sekelompok manusia yang mengklaim lebih benar daripada yang lain. Berdalih berdasarkan egosentrisme dan melegitimasi kekerasaan terhadap yang lain. Anda bisa melihat buktinya di salah satu rekaman video pengusiran di youtube dimana Halim Toha, perwakilan Kementrian Agama Sampang, mengusir jemaah syiah dengan arogansi melebihi kuasa Allah. “Saya dari kementrian agama. Saya yang mengatur agama di Sampang.”
Bermula dari usaha jemaah Syiah di Nankrenang untuk memperoleh hak berkeyakinan. Namun yang terjadi adalah teror dan penindasan oleh mereka yang mengaku jama’ah Ahlus Sunnah. Dalam artikel berjudul Api Kebencian dalam Sekam yang ditulis oleh Muhammad Iqbal (http://www.facebook.com/notes/har-wib/api-kebencian-dalam-sekam-oleh-muhammad-iqbal/10150531853472328) tampak jelas ada usaha sistematis oleh ulama-ulama dan aparatus lokal untuk mengekang hak Jama’ah Syiah.
       
Perlahan-lahan sejak 2006 berbagai fitnah dihembuskan yang menganggap Syiah sebagai aliran terlarang. Padahal jauh sebelumnya Jama’ah Syiah di Sampang, lebih khusus di Nangkrenang hidup berdampingan dengan warga sekitar. Sedikit demi sedikit warga sekitar diajak untuk memendam kebencian. Memelihara api dalam sekam. Sehingga semua amarah membuat perilaku jama’ah Syiah tampak salah. Semua ini di dilakukan oleh mereka yang mengaku ulama Ahlus Sunnah.
Alasannya jama’ah Syiah dianggap sesat karena menistakan para sahabat Nabi, seperti Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khatthab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Tudingan ini belum dapat dibuktikan kebenarannya. Jikalaupun benar, apakah menjadi hak seseorang mengkafirkan tanpa ada usaha mendamaikan?
Konon pada 2009 diselenggarakan pertemuan antara perwakilan Ahlus Sunnah dan Jama’ah Syiah bertemu. Dalam kesempatan itu mereka beradu argumen. Jama’ah Syiah dituduh tak melakukan shalat lima waktu, memiliki Alquran lain, yang disebut Alquran Fatimah. Semua dibantah oleh Jama’ah Syiah Sampang. Namun secara sepihak, seperti yang diungkapkan Iqbal, Syiah dinyatakan sesat.
“Tiap hari adalah Asyura dan tiap tempat adalah Karbala”, kata seorang intelektual muslim Syiah, Ali Syariati. Saya kira kata-kata itu, sampai hari ini, belum lagi selesai menemukan bantahannya. Sejak kematian Imam Husain hingga hari ini, kekerasan darah selalu menjadi karib kaum Syiah. Apa yang terjadi pada umat Syiah di Sampang hanya sebagian kecil dari sejarah panjang penindasan pada kaum ini.
Baru dalam hitungan bulan yang lalu saya sebagai umat muslim merayakan Asyura. Sebuah hari spesial yang dalam sejarah Islam terjadi berbagai kejadian magis, historis dan epik. Seperti hari saat Allah, tuhan umat muslim, menciptakan jagat raya pada hari kesepuluh, hari diciptakannya Adam, diciptakannya Jibril, hari kelahiran Nabi Ibrahim, kesembuhan Nabi Ayub, dan hari di mana Yazid bin Muawiyah, putra Muawiyah bin Abu Sofyan (orang yang pernah sangat membenci Rasulullah), secara biadab membunuh Imam Husain pada 680 Masehi.
 
Karen Armstrong dalam bukunya Short History of Islam, mengatakan: ini salah satu dari sekian banyak fitna yang terjadi dalam Islam. Kematian Imam Husein melahirkan Syiah. Ini bukan tanpa sebab, karena pada sebelas tahun sebelumnya dinasti Ummayyah juga membunuh Imam Hasan. Pelakunya jelas kerabat Yazid, yang meracuni cucu tertua Rasullullah Muhammad.
       
Dua alasan ini cukup bagi para pecinta Ali untuk kemudian meradang. Menganggap bahwa rezim Ummayyah adalah rezim yang tiran, despotik lagi lalim. Seperti kaum Khawarij yang dulu memisahkan diri dari kalifah Ali, karena menganggap Ali gagal menindak pembunuh Khalifah Utsman. Sejak kematian Husein, kaum Syiah pun mundur ke Jazirah Persia (Iran-Iraq) demi menjaga kehormatan dan menghindari rezim Yazid.
       
Jalaludin Rakhmat, intelektual muslim Syiah Indonesia, menulis dalam sebuah pengantar yang menggambarkan bahwa kaum Syiah adalah kaum yang dekat dengan kematian dan darah.
Sepanjang sejarah kaum Syiah selalu merasa memiliki keterkaitan emosional dengan peristiwa Karbala. Hal inilah yang membuat Syiah menjadi eksklusif. Keterikatan emosional yang begitu kuat membuat mereka merindukan Imam Mahdi: keturunan nabi yang kelak akan membawa Islam (dan dunia) ke arah yang jauh lebih baik.
Linda Christanty, seorang wartawan cum sastrawan, pernah menuliskan, ” Saat Cucu Nabi dibantai dan disakiti, Syiah-lah kaum pertama yang angkat senjata dan berkorban untuk menyelamatkan mereka.” Apa pun kata dunia tentang orang-orang Syiah, kita harus ingat bahwa mereka yang membantu kakek moyang kita. Bahkan orang-orang Sunni yang menyatakan diri mewarisi ajaran Muhammad, semuanya melarikan diri saat Imam Husein dipenggal dengan keji.
       
Kekerasan terhadap umat beragama di Indonesia bukanlah hal yang baru. Sejak sebelum kemerdekaan, kekerasan terjadi di Sumatera Barat yang dilakukan oleh kaum Padri. Salah satu tokoh Padri yang terkemuka adalah Tuanku Imam Bonjol, yang telah melakukan pembasmian Mazhab non Hanbali. Semua yang bertentangan dengannya dimusnahkan atas nama perjuangan melawan penjajah.
       
Di era modern seperti saat ini, organisasi fasis yang berkedok agama kerap melakukan penindasan. Kekerasan dalam beribadah di Indonesia tiap tahun kian meningkat. Wahid Institute baru-baru ini merilis data bahwa di tanah air terjadi peningkatan tindakan fasisme yang cukup signifikan. Jika pada 2010 lalu terjadi 64 kasus kekerasan terhadap umat beragama, maka pada tahun 2011 meningkat menjadi 92 kasus pelanggaran. Dengan rincian kekerasan sebagai berikut: Jama’at Ahmadiyah adalah korban terbanyak dengan 46 kasus (50%). Kemudian Jama’at GKI Taman Yasmin Bogor 13 kasus (14%), jama’at gereja lainnya 12 kasus (13%), kelompok terduga sesat 8 kasus (9%), Millah Abraham (4 kasus), kelompok Syiah dan aliran AKI (2 kasus), aliran Nurul Amal, aliran Bedatuan, aliran Islam Suci, Padepokan Padange Ati dan jemaah Masjid di NTT, masing-masing 1 kasus. (http: //www.wahidinstitute.org /Berita/Detail/?id =431/hl=id/ Evaluasi_Sosbud_Tahun_Bencana_Berdalih_Agama).
       
Apa yang terjadi pada jama’at Syiah di Sampang Madura adalah bukti ketakutan atas iman yang lemah. Seperti juga kaum Padri yang takut nagari-nagari tenggelam dalam permusuhan mazhab. Beberapa kelompok dominan yang mengaku beragama kemudian memaksaakan kehendak. Seolah-olah kebenaran adalah perihal jumlah.
Saya membayangkan bagaimana perasaan Imam Husein saat memutuskan hijrah dari Madinah menuju Kufah, bersama 30 orang penunggang kuda, 40 pejalan kaki dan banyak anak-anak. Sementara di Karbala, dekat Najaf, Irak Selatan, 30 ribu pasukan Yazid menghadangnya. Apakah Imam Husein tak menyadari bahwa maut sedang mengintai nyawanya?

Muhammad Ali Hanafiah, saudara tiri Imam Husein ternyata masih hidup saat itu, berkisah bahwa pada detik detik sebelum keberangkatannya menuju Kufah, Imam Husein masih tegak sebagai muslim yang berdaulat. Dengan tegas Imam Husein berkata, “Sungguh aku lebih memilih kematian dengan cara kesyahidan ketimbang harus hidup dengan seorang penindas penuh aib dan kehinaan.”
       
Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Bertolt Brecht dalam puisinya, To Posterity, sebuah nubuat mengenai zaman yang gelap. Zaman yang tunduk pada dominasi teror mayoritas yang menolak kritik. “Ah, what an age it is, When to speak of trees is almost a crime, For it is a kind of silence about injustice!”.
penulis : Arman Dhani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar