Wajah Islam di Indonesia hari ini telah gagal menunjukan sisi
humanismenya. Penjagalan atas nama tuhan masih terjadi. Dan penindasan
yang dilakukan sekelompok manusia fasis masih saja ada. Parahnya adalah
negara mendiamkan atau dalam beberapa kasus mendukung penindasan ini.
Mungkin benar apa kata penyair Jerman Bertold Brecht dalam salah satu
syairnya. Bahwa dunia sedang berrada di masa gelap.
Jika almarhum Abdurahman Wahid masih hidup, mungkin ia akan sangat
kecewa, marah dan kesal atas apa yang telah terjadi di Sampang, Madura.
Muslim yang mayoritas berasal dari golongan cendekia Nahdlatul Ulama
sejak lama dikenal dengan keramahannya terhadap perbedaan. Saya melihat
ini bukan tanda-tanda dekadensi NU, melainkan kegagalam kita sama dalam
memaknai perubahan zaman dengan sikap welas asih.
Permasalahan di Sampang memang jauh dari sederhana: perihal klaim
salah satu kelompok yang mengklaim pewaris tunggal kebenaran ilahi;
perihal sekelompok manusia yang mengklaim lebih benar daripada yang
lain. Berdalih berdasarkan egosentrisme dan melegitimasi kekerasaan
terhadap yang lain. Anda bisa melihat buktinya di salah satu rekaman
video pengusiran di youtube dimana Halim Toha, perwakilan Kementrian
Agama Sampang, mengusir jemaah syiah dengan arogansi melebihi kuasa
Allah. “Saya dari kementrian agama. Saya yang mengatur agama di
Sampang.”
Bermula dari usaha jemaah Syiah di Nankrenang untuk memperoleh hak
berkeyakinan. Namun yang terjadi adalah teror dan penindasan oleh mereka
yang mengaku jama’ah Ahlus Sunnah. Dalam artikel berjudul Api Kebencian
dalam Sekam yang ditulis oleh Muhammad Iqbal (http://www.facebook.com/notes/har-wib/api-kebencian-dalam-sekam-oleh-muhammad-iqbal/10150531853472328) tampak jelas ada usaha sistematis oleh ulama-ulama dan aparatus lokal untuk mengekang hak Jama’ah Syiah.
Perlahan-lahan sejak 2006 berbagai fitnah dihembuskan yang menganggap
Syiah sebagai aliran terlarang. Padahal jauh sebelumnya Jama’ah Syiah di
Sampang, lebih khusus di Nangkrenang hidup berdampingan dengan warga
sekitar. Sedikit demi sedikit warga sekitar diajak untuk memendam
kebencian. Memelihara api dalam sekam. Sehingga semua amarah membuat
perilaku jama’ah Syiah tampak salah. Semua ini di dilakukan oleh mereka
yang mengaku ulama Ahlus Sunnah.
Alasannya jama’ah Syiah dianggap sesat karena menistakan para sahabat
Nabi, seperti Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khatthab, Usman bin Affan,
dan Ali bin Abi Thalib. Tudingan ini belum dapat dibuktikan
kebenarannya. Jikalaupun benar, apakah menjadi hak seseorang
mengkafirkan tanpa ada usaha mendamaikan?
Konon pada 2009 diselenggarakan pertemuan antara perwakilan Ahlus
Sunnah dan Jama’ah Syiah bertemu. Dalam kesempatan itu mereka beradu
argumen. Jama’ah Syiah dituduh tak melakukan shalat lima waktu, memiliki
Alquran lain, yang disebut Alquran Fatimah. Semua dibantah oleh Jama’ah
Syiah Sampang. Namun secara sepihak, seperti yang diungkapkan Iqbal,
Syiah dinyatakan sesat.
“Tiap hari adalah Asyura dan tiap tempat adalah Karbala”, kata
seorang intelektual muslim Syiah, Ali Syariati. Saya kira kata-kata itu,
sampai hari ini, belum lagi selesai menemukan bantahannya. Sejak
kematian Imam Husain hingga hari ini, kekerasan darah selalu menjadi
karib kaum Syiah. Apa yang terjadi pada umat Syiah di Sampang hanya
sebagian kecil dari sejarah panjang penindasan pada kaum ini.
Baru dalam hitungan bulan yang lalu saya sebagai umat muslim
merayakan Asyura. Sebuah hari spesial yang dalam sejarah Islam terjadi
berbagai kejadian magis, historis dan epik. Seperti hari saat Allah,
tuhan umat muslim, menciptakan jagat raya pada hari kesepuluh, hari
diciptakannya Adam, diciptakannya Jibril, hari kelahiran Nabi Ibrahim,
kesembuhan Nabi Ayub, dan hari di mana Yazid bin Muawiyah, putra
Muawiyah bin Abu Sofyan (orang yang pernah sangat membenci Rasulullah),
secara biadab membunuh Imam Husain pada 680 Masehi.
Karen Armstrong dalam bukunya Short History of Islam, mengatakan: ini
salah satu dari sekian banyak fitna yang terjadi dalam Islam. Kematian
Imam Husein melahirkan Syiah. Ini bukan tanpa sebab, karena pada sebelas
tahun sebelumnya dinasti Ummayyah juga membunuh Imam Hasan. Pelakunya
jelas kerabat Yazid, yang meracuni cucu tertua Rasullullah Muhammad.
Dua alasan ini cukup bagi para pecinta Ali untuk kemudian meradang.
Menganggap bahwa rezim Ummayyah adalah rezim yang tiran, despotik lagi
lalim. Seperti kaum Khawarij yang dulu memisahkan diri dari kalifah Ali,
karena menganggap Ali gagal menindak pembunuh Khalifah Utsman. Sejak
kematian Husein, kaum Syiah pun mundur ke Jazirah Persia (Iran-Iraq)
demi menjaga kehormatan dan menghindari rezim Yazid.
Jalaludin Rakhmat, intelektual muslim Syiah Indonesia, menulis dalam
sebuah pengantar yang menggambarkan bahwa kaum Syiah adalah kaum yang
dekat dengan kematian dan darah.
Sepanjang sejarah kaum Syiah selalu merasa memiliki keterkaitan
emosional dengan peristiwa Karbala. Hal inilah yang membuat Syiah
menjadi eksklusif. Keterikatan emosional yang begitu kuat membuat mereka
merindukan Imam Mahdi: keturunan nabi yang kelak akan membawa Islam
(dan dunia) ke arah yang jauh lebih baik.
Linda Christanty, seorang wartawan cum sastrawan, pernah menuliskan, ”
Saat Cucu Nabi dibantai dan disakiti, Syiah-lah kaum pertama yang
angkat senjata dan berkorban untuk menyelamatkan mereka.” Apa pun kata
dunia tentang orang-orang Syiah, kita harus ingat bahwa mereka yang
membantu kakek moyang kita. Bahkan orang-orang Sunni yang menyatakan
diri mewarisi ajaran Muhammad, semuanya melarikan diri saat Imam Husein
dipenggal dengan keji.
Kekerasan terhadap umat beragama di Indonesia bukanlah hal yang baru.
Sejak sebelum kemerdekaan, kekerasan terjadi di Sumatera Barat yang
dilakukan oleh kaum Padri. Salah satu tokoh Padri yang terkemuka adalah
Tuanku Imam Bonjol, yang telah melakukan pembasmian Mazhab non Hanbali.
Semua yang bertentangan dengannya dimusnahkan atas nama perjuangan
melawan penjajah.
Di era modern seperti saat ini, organisasi fasis yang berkedok agama
kerap melakukan penindasan. Kekerasan dalam beribadah di Indonesia tiap
tahun kian meningkat. Wahid Institute baru-baru ini merilis data bahwa
di tanah air terjadi peningkatan tindakan fasisme yang cukup signifikan.
Jika pada 2010 lalu terjadi 64 kasus kekerasan terhadap umat beragama,
maka pada tahun 2011 meningkat menjadi 92 kasus pelanggaran. Dengan
rincian kekerasan sebagai berikut: Jama’at Ahmadiyah adalah korban
terbanyak dengan 46 kasus (50%). Kemudian Jama’at GKI Taman Yasmin Bogor
13 kasus (14%), jama’at gereja lainnya 12 kasus (13%), kelompok terduga
sesat 8 kasus (9%), Millah Abraham (4 kasus), kelompok Syiah dan aliran
AKI (2 kasus), aliran Nurul Amal, aliran Bedatuan, aliran Islam Suci,
Padepokan Padange Ati dan jemaah Masjid di NTT, masing-masing 1 kasus.
(http: //www.wahidinstitute.org /Berita/Detail/?id =431/hl=id/
Evaluasi_Sosbud_Tahun_Bencana_Berdalih_Agama).
Apa yang terjadi pada jama’at Syiah di Sampang Madura adalah bukti
ketakutan atas iman yang lemah. Seperti juga kaum Padri yang takut
nagari-nagari tenggelam dalam permusuhan mazhab. Beberapa kelompok
dominan yang mengaku beragama kemudian memaksaakan kehendak.
Seolah-olah kebenaran adalah perihal jumlah.
Saya membayangkan bagaimana perasaan Imam Husein saat memutuskan
hijrah dari Madinah menuju Kufah, bersama 30 orang penunggang kuda, 40
pejalan kaki dan banyak anak-anak. Sementara di Karbala, dekat Najaf,
Irak Selatan, 30 ribu pasukan Yazid menghadangnya. Apakah Imam Husein
tak menyadari bahwa maut sedang mengintai nyawanya?
Muhammad Ali Hanafiah, saudara tiri Imam Husein ternyata masih hidup
saat itu, berkisah bahwa pada detik detik sebelum keberangkatannya
menuju Kufah, Imam Husein masih tegak sebagai muslim yang berdaulat.
Dengan tegas Imam Husein berkata, “Sungguh aku lebih memilih kematian
dengan cara kesyahidan ketimbang harus hidup dengan seorang penindas
penuh aib dan kehinaan.”
Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Bertolt Brecht dalam puisinya, To
Posterity, sebuah nubuat mengenai zaman yang gelap. Zaman yang tunduk
pada dominasi teror mayoritas yang menolak kritik. “Ah, what an age it
is, When to speak of trees is almost a crime, For it is a kind of
silence about injustice!”.
penulis : Arman Dhani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar