Meski seratus persen penduduknya muslim, namun
di sana terdapat berbagai golongan madzhab agama. Selain NU dan
Muhammadiyah, aliran Ahlul Bait atau Sy’iah Itsna Asyariyah ada dan
eksis di desa itu. Padahal bila dilihat secara idelogis, begitu banyak
kayakinan ketiga penganut ideologi agama itu yang berbeda, kendati
kebanyakan perbedaan itu hanya bersifat furuiyyah (amalan sekunder
agama).
Kerukunan adalah hal krusial untuk menjaga persatuan dan kesatuan. Sikap
saling menghargai, tenggang rasa dan tepa selira telah lama menjadi
ciri sosiologis masyarakat Indonesia yang dikenal dunia. Namun, karena
berbagai tragedi pertikaian dan tindakan kriminal yang menggejala dalam
masyarakat kita, sikap saling menghargai kian terkikis, yang akhirnya
memicu pertumpahan darah dan kekerasan fisik.
Ironinya, fenomena itu terjadi bukan hanya di kota yang menjadi pusat
pertarungan ekonomi dan politik, rentan dengan chaos sosial.
Diskriminasi dan tindak kekerasan serta kekerasan lain kini merambah ke
pelosok desa. Bukan hanya faktor ekonomi dan hasrat kuasa saja yang
menjadikan sebab-sebab hal itu muncul, ideologi berbasis agama juga bisa
memicu pertengkaran dan perpecahan sosial. Oleh karena itulah,
masyarakat dituntut untuk cerdas melihat perbedaan yang ada di
sekelilingnya.
Di salah satu desa di Kecamatan Sayung Kebupaten Demak, ada desa yang
bisa dijadikan rujukan membangun kerukunan warga yang memiliki
perbedaan keyakinan berbasis agama yang sama: Islam. Namanya Desa
Prampelan. Dari 20 desa yang di Kecamatan Sayung, tidak salah bila
Prampelan dipilih sebagai contoh desa Karang Taruna Se-Jawa Tengah.
Mengapa? Karena desa itu mampu membina kerukunan warganya dengan baik,
meskipun mayoritas penduduknya berpenghasilan dari bercocok tanam di
sawah.
Tak seperti di desa lain, desa seluas 2022,31 ha dengan jumlah
penduduk 3.042 jiwa ini memiliki heterogenitas keyakinan agama dan
anutan madzhab. Meski seratus persen penduduknya muslim, namun di sana
terdapat berbagai golongan madzhab agama. Selain NU dan Muhammadiyah,
aliran Ahlul Bait atau Sy’iah Itsna Asyariyah ada dan eksis di desa itu.
Padahal bila dilihat secara idelogis, begitu banyak kayakinan ketiga
penganut ideologi agama itu yang berbeda, kendati kebanyakan perbedaan
itu hanya bersifat furuiyyah (amalan sekunder agama).
Berdampingan
Dibandingkan dengan NU, Muhammadiyah dan Syi’ah memang minoritas.
Namun mereka bisa hidup berdampingan. Terutama Syi’ah yang dianut oleh
setidaknya 25 kepala keluarga. Pada 1992, ketika aliran pecinta Sahabat
Ali ini dibawa pertama kali oleh Ustadz Ja’far ke Prampelan, banyak
pertentangan yang harus dia hadapi. Sempat juga dia menerima tuduhan
tidak benar yang mendiskreditkan keyakinannya itu. Bahkan pernah
diajukan ke pengadilan.
Namun, dalam perkembangannya, kini masyarakat bisa menerima kehadiran
aliran yang mempercayai kama’shuman (lepas dari dosa) dua belas imam
agama setelah Nabi Muhammad itu. Kalau aliran ini hidup di desa lain,
mungkin tak menuai perkembangan seperti sekarang. Syi’ah di Prampelan
bisa hidup bebas menjalankan ibadah, kegiatan sosial (ijtima’iyyah) dan
aktivitas ekonomi (mu’amalah). Majlis Al-Husain yang bediri di sana
adalah bukti bahwa eksistensi penganut yang “didakwa” sesat oleh
sebagian kalangan ini, diakui oleh masyarakat setempat.
Bukan hanya itu, bagi Anda yang ingin memperkaya wawasan agama dari
berbagai madzhab Islam, ada banyak literatur tafsir, hadits, fiqih serta
ideologi politik dan agama Islam bisa berkunjung ke perpustakaan Majlis
Al-Husain yang disediakan untuk umum. Ada ribuan koleksi buku langka
yang dapat diakses, terutama berkaitan dengan hadits-hadits Nabi yang
tidak tercantum dalam buku-buku Ahlussunnah Waljama’ah yang dianut
mayoritas muslim di negeri ini.
Penganut Syi’ah di Desa Prampelan juga memiliki jadwal rutin seminggu
dua kali (Selasa dan Jum’at) melakukan diskusi ilmiah yang membahas
mulai dari agama hingga isu-isu terkini. Ada juga “pengajian” bulanan
yang diselenggarakan secara bergilir dari rumah warga ke rumah warga
lainnya.
Tak ada warga lain yang menentang, terutama sejak era reformasi bergulir
12 tahun lalu. Demokrasi politik telah mendewasakan pola pikir
masyarakat Prampelan. Karena keragaman kayakinan warganya yang bisa
hidup berdampingan itulah, Prampelan disebut sebagai “bhinneka”-nya
Kecamatan Sayung, bahkan Kabupaten Demak, yang terkenal santri.
Kerukunan warga Prampelan berjalan secara horizontal. Semua dianggap
sama, kendati tetap menyimpan perbedaan dan keunikan tersendiri. Tak ada
klaim bahwa keyakinan tertentu lebih unggul daripada yang lain. Rumus
kuasa superior dan yang lain inferior tak berlaku di Prampelan.
Buktinya, ketika ada hajatan tahlilan, istighotsah, tahtiman al-Qur’an
dan kegiatan keagamaan lainnya, semua warga bisa dengan suka-suka
berpartisipasi.
Tak ada pemaksaan, apalagi cegahan personal mengikuti kegiatan sosial
dan agama karena perbedaan keyakinan. Semua bisa bekerjasama secara
bilateral. Karena kayakinan, tak akan pernah bisa diadili, kecuali oleh
kekerasan dan ancaman. Ada baiknya bila desa ini dijadikan model
kerukunan dan toleransi beragama oleh desa-desa lain yang ada di Jawa
Tengah.
penulis : Richa Miskiyya, Mahasiswi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang
sumber : www.islamlib.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar