Rabu, 06 Juni 2012

Syiah di Sayung Demak, Mereka Luput Dari Sorotan

Meski seratus persen penduduknya muslim, namun di sana terdapat berbagai golongan madzhab agama. Selain NU dan Muhammadiyah, aliran Ahlul Bait atau Sy’iah Itsna Asyariyah ada dan eksis di desa itu. Padahal bila dilihat secara idelogis, begitu banyak kayakinan ketiga penganut ideologi agama itu yang berbeda, kendati kebanyakan perbedaan itu hanya bersifat furuiyyah (amalan sekunder agama). 
Kerukunan adalah hal krusial untuk menjaga persatuan dan kesatuan. Sikap saling menghargai, tenggang rasa dan tepa selira telah lama menjadi ciri sosiologis masyarakat Indonesia yang dikenal dunia. Namun, karena berbagai tragedi pertikaian dan tindakan kriminal yang menggejala dalam masyarakat kita, sikap saling menghargai kian terkikis, yang akhirnya memicu pertumpahan darah dan kekerasan fisik.
Ironinya, fenomena itu terjadi bukan hanya di kota yang menjadi pusat pertarungan ekonomi dan politik, rentan dengan chaos sosial. Diskriminasi dan tindak kekerasan serta kekerasan lain kini merambah ke pelosok desa. Bukan hanya faktor ekonomi dan hasrat kuasa saja yang menjadikan sebab-sebab hal itu muncul, ideologi berbasis agama juga bisa memicu pertengkaran dan perpecahan sosial. Oleh karena itulah, masyarakat dituntut untuk cerdas melihat perbedaan yang ada di sekelilingnya.
Di salah satu desa di Kecamatan Sayung Kebupaten Demak, ada desa yang bisa dijadikan rujukan membangun kerukunan warga yang memiliki perbedaan keyakinan berbasis agama yang sama: Islam. Namanya Desa Prampelan. Dari 20 desa yang di Kecamatan Sayung, tidak salah bila Prampelan dipilih sebagai contoh desa Karang Taruna Se-Jawa Tengah. Mengapa? Karena desa itu mampu membina kerukunan warganya dengan baik, meskipun mayoritas penduduknya berpenghasilan dari bercocok tanam di sawah.
Tak seperti di desa lain, desa seluas 2022,31 ha dengan jumlah penduduk 3.042 jiwa ini memiliki heterogenitas keyakinan agama dan anutan madzhab. Meski seratus persen penduduknya muslim, namun di sana terdapat berbagai golongan madzhab agama. Selain NU dan Muhammadiyah, aliran Ahlul Bait atau Sy’iah Itsna Asyariyah ada dan eksis di desa itu. Padahal bila dilihat secara idelogis, begitu banyak kayakinan ketiga penganut ideologi agama itu yang berbeda, kendati kebanyakan perbedaan itu hanya bersifat furuiyyah (amalan sekunder agama). 

Berdampingan
Dibandingkan dengan NU, Muhammadiyah dan Syi’ah memang minoritas. Namun mereka bisa hidup berdampingan. Terutama Syi’ah yang dianut oleh setidaknya 25 kepala keluarga. Pada 1992, ketika aliran pecinta Sahabat Ali ini dibawa pertama kali oleh Ustadz Ja’far ke Prampelan, banyak pertentangan yang harus dia hadapi. Sempat juga dia menerima tuduhan tidak benar yang mendiskreditkan keyakinannya itu. Bahkan pernah diajukan ke pengadilan.
Namun, dalam perkembangannya, kini masyarakat bisa menerima kehadiran aliran yang mempercayai kama’shuman (lepas dari dosa) dua belas imam agama setelah Nabi Muhammad itu. Kalau aliran ini hidup di desa lain, mungkin tak menuai perkembangan seperti sekarang. Syi’ah di Prampelan bisa hidup bebas menjalankan ibadah, kegiatan sosial (ijtima’iyyah) dan aktivitas ekonomi (mu’amalah). Majlis Al-Husain yang bediri di sana adalah bukti bahwa eksistensi penganut yang “didakwa” sesat oleh sebagian kalangan ini, diakui oleh masyarakat setempat.
Bukan hanya itu, bagi Anda yang ingin memperkaya wawasan agama dari berbagai madzhab Islam, ada banyak literatur tafsir, hadits, fiqih serta ideologi politik dan agama Islam bisa berkunjung ke perpustakaan Majlis Al-Husain yang disediakan untuk umum. Ada ribuan koleksi buku langka yang dapat diakses, terutama berkaitan dengan hadits-hadits Nabi yang tidak tercantum dalam buku-buku Ahlussunnah Waljama’ah yang dianut mayoritas muslim di negeri ini. 
Penganut Syi’ah di Desa Prampelan juga memiliki jadwal rutin seminggu dua kali (Selasa dan Jum’at) melakukan diskusi ilmiah yang membahas mulai dari agama hingga isu-isu terkini. Ada juga “pengajian” bulanan yang diselenggarakan secara bergilir dari rumah warga ke rumah warga lainnya.
Tak ada warga lain yang menentang, terutama sejak era reformasi bergulir 12 tahun lalu. Demokrasi politik telah mendewasakan pola pikir masyarakat Prampelan. Karena keragaman kayakinan warganya yang bisa hidup berdampingan itulah, Prampelan disebut sebagai “bhinneka”-nya Kecamatan Sayung, bahkan Kabupaten Demak, yang terkenal santri.
Kerukunan warga Prampelan berjalan secara horizontal. Semua dianggap sama, kendati tetap menyimpan perbedaan dan keunikan tersendiri. Tak ada klaim bahwa keyakinan tertentu lebih unggul daripada yang lain. Rumus kuasa superior dan yang lain inferior tak berlaku di Prampelan. Buktinya, ketika ada hajatan tahlilan, istighotsah, tahtiman al-Qur’an dan kegiatan keagamaan lainnya, semua warga bisa dengan suka-suka berpartisipasi.
Tak ada pemaksaan, apalagi cegahan personal mengikuti kegiatan sosial dan agama karena perbedaan keyakinan. Semua bisa bekerjasama secara bilateral. Karena kayakinan, tak akan pernah bisa diadili, kecuali oleh kekerasan dan ancaman. Ada baiknya bila desa ini dijadikan model kerukunan dan toleransi beragama oleh desa-desa lain yang ada di Jawa Tengah.

penulis : Richa Miskiyya, Mahasiswi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang

sumber : www.islamlib.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar