Yang dimaksud ayat dzawi qurbâ oleh kaum Syiah adalah firman Allah kepada Rasulullah ketika memerintahkan beliau agar berkata kepada manusia:‘ .Katakanlah, aku tidak meminta dan kalian suatu imbalan apapun atas seruanku ini tetapi kasih sayang dalam kekeluargaan…’.” (Asy-Syura [ 23).
Kalangan Syiah menafsirkan maksud kekeluargaan pada ayat itu sebagai Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain.
Seperti misalnya yang dilakukan oleh
Anthaki dalam kitabnya, Limâdza Ikhtartu Madzhab Asy-SyI’al’z, yang
tampaknya sangat lancang dan tergesa-gesa —kendati saya seratus persen
yakin bahwa kitab tersebut sebenarnya bukan hasil karyanya, tapi ditulis
oleh orang lain lalu dinisbatkan kepada dirinya, wallahu a’lam. Ketika
sampai pada ayat tersebut, dia mengutip satu hadits dan Shahih Al-Bukhâri yang
isi sebenarnya bahwa Ibnu Abbas ditanya seseorang tentang makna ayat
tersebut. Belum sempat Ibnu Abbas menjawab, Said bin Jubair sudah
mendahuluinya dengan, “Kecuali kalian menyayangi kerabatku.” Ibnu Abbas
membantahnya dengan berkata, “Kamu terlalu gegabah. Demi Allah, tidak
satu pun keluarga besar dan sekian banyak keluarga besar di suku Quraisy
melainkan ada pertalian kekerabatan antara mereka dengan Nabi.
Maksudnya yang benar adalah kecuali kalian menjalin kekerabatan yang ada
antara diriku dengan kalian. (Shahih Al-Bukhâri, no. 4818).
Apa yang dilakukan oleh Anthaki —atau
orang yang menulis kitab tersebut lalu menisbatkannya kepada dia— sangat
tidak bertanggung jawab; dia tidak mengutip hadits itu secara utuh,
tetapi sebagiannya dibuang dan bahkan dipelintir, padahal sumber hadits
yang sebenarnya adalah dari riwayat Bukhari. Yang ia kutip dalam bukunya
adalah: “Ibnu Abbas berkata, “Kecuali kalian menyayangi kerabatku” Ia
sengaja mengacuhkan sanggahan Ibnu Abbas terhadap pendapat Said bin
Jubair, dan justru perkataan yang sebetulnya diucapkan oleh Said bin
Jubair itu malah dinisbatkan kepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Silakan Anda menilai sendiri perbuatan ini. Jelas, ini bukan cara dan metode orang beriman, karena mereka tidak akan memotong hadits, tidak melakukan tadils (menyamarkan makna aslinya), dan tidak pula menambahkan kedustaan di dalamnya.
Berkaitan dengan penyebutan kerabat/keluarga, ada juga firman Allah, “Dan
ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai
rampasan perang, maka sungguh seperlimanya untuk Allah, Rasul, kerabat
Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil....”
(Al-Anfal [ 41). Distribusi pembagian ghanimah menurut mereka adalah 1/5
bagi Allah dan Rasul, 1/5 untuk sanak kerabat Rasul, 1/5 untuk
anak-anak yatim, 1/5 bagi fakir miskin, dian 1/5 lagi kepada ibnu sabil.
Inilah yang mereka sebut khumus (seper- lima). Khumus ini memang hanya diambil dan harta rampasan di medan jihad, karena Allah Ta’ala berfirman “sesungguhnya apa saja yang kamu peroleh sebagai rampasan perang”, namun
amatlah disayangkan harta rampasan jihad atau ghanimah yang seharusnya
diambil dan harta orang-orang kafir justru mereka ambil dari umat
Muslim.
Di sini ada dua hal yang menjadi letak kesalahan mereka. Pertama, terkait porsi jatah pembagian ghanimah, dan kedua, menyangkut asal harta yang dibagi-bagikan itu diambil dan mana. Untuk yang pertama,
semestinya 1/5 dan ghanimah itu memang dibagi rata ke pada Allah,
Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, fakir miskin, dan ibnu sabil,
sehingga 4/5 yang tersisa dan keseluruhannya adalah untuk para
mujahidin.
Jika diilustrasikan, seandainya total
keseluruhan ghanimah bernilai 10.000 (bisa dinar atau dirham), maka
ghanimah tersebut dibagi menjadi lima bagian yang sama, yang
masing-masing bernilai 2.000. Selanjutnya, empat bagiannya dibagikan
kepada para mujahidin yang turut bertempur di medan peperangan, yakni
sebanyak 8.000, sedangkan sisanya yang satu bagian itu, 2.000, dibagi
menjadi lima bagian lagi: (1) 400 untuk Allah dan Rasul, (2) 400 untuk
kerabat Rasul, (3) 400 untuk anak-anak yatim, (4) 400 untuk fakir
miskin, dan (5) 400 untuk ibnu sabil. Demikianlah seharusnya pembagian
yang benar menurut petunjuk Allah .
Lalu sekarang, apa yang dilakukan kaum
Syiah? Seperti sudah disinggung tadi, bahwa mereka memberikan kerabat
Rasul 1/5 bagian dari total keseluruhan harta. Bila memakai ilustrasi di
atas, maka kerabat Rasul akan mendapatkan harta ghanimah senilai 2.000,
bukan 400 seperti yang dituntunkan Allah Ta’ala.
Persoalan kedua,
semestinya harta ghanimah yang dibagi hagikan berasal dan harta musuh
kafir yang dirampas di medan pertempuran, bukan dan harta muslimin.
Sementara yang dilakukan oleh kaum Syiah, mereka mengambilnya dan harta
muslimin kemudian 1/5 diserahkan kepada kerabat Rasul. Jelas, apa yang
mereka lakukan ini bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga kita tidak
bisa menerimanya.
Jika kita bandingkan pula antara surah
Al-Anfal ayat 41 dengan surah Asy-Syura ayat 23, ada perbedaan
signifikan di sana. Penyebutan qurba (kerabat) dalam surah Al-Anfal ayat 41 diawali dengan huruf lam yang berarti “untuk” atau “bagi”, sedangkan dalam surah Asy-Syura ayat 23 diawali dengan huruf fi
yang bermakna “dalam” Jelas beda antara kata “untuk kerabat” dengan
“dalam kekerabatan Oleh karenanya, kita meyakini bahwa Nabi tidak
mungkin meminta imbalan dalam dakwah. Bagaimana beliau akan meminta
imbalan sementara karakter beliau seperti yang difirmankan Allah, ‘…Aku tidak meminta imbalan sedikit pun dan kamu atas seruanku, dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-ada.” (Shad [38]: 86).
Bukan hanya Nabi , bahkan semua nabi tidak meminta imbalan dan kaum mereka. Tentang Nabi Nuh Allah berfirman, “Dan aku tidak meminta imbalan dan kalian atas ajakanku ini. Imbalanku hanya dari Rabb seluruh alam.” (Asy-Syuara [26]:109). Juga tentang Nabi Hud “Dan aku tidak meminta imbalan darimu atas ajakanku ini. Imbalanku hanyalah dari Rabb seluruh alam.” (Asy-Syuara [26]: 127). Demikian pula yang dikatakan oleh Nabi Shalih, Luth, dan Syuaib, “Dan aku tidak meminta imbalan darimu atas ajakanku ini. Imbalanku hanyalah dari Rabb seluruh alam.” (Asy-Syuara [26]: 145).
Sebagaimana kita ketahui, Nabi Muhammad
adalah penghulu para Nabi dan Rasul. Jika saudara-saudara beliau sesama
Nabi dan Rasul itu, seperti Nabi Nuh, Luth, Hud, Shalih, Syuaib, dan
lainnya —semoga shalawat dan salam terlimpah atas mereka semua— tidak
meminta imbalan dan manusia atas kerja dakwah yang mereka lakukan,
tentunya Nabi Muhammad harus lebih meneladankan untuk tidak meminta
imbalan tersebut. Mereka semua, para nabi dan rasul itu, hanya meminta
imbalan dari Allah saja. Jadi, inilah pengertian firman Allah, “Katakanlah,’Aku tidak meminta darimu suatu imbalan apapun atas seruanku tetapi kasih sayang dalam kekeluargaan’.” Kata illa dalam ayat ini dimaknai lâkin (tetapi), bukan illâ (kecuali)
seperti biasanya yang memiiki makna pengecualian. Sehingga, Nabi sama
sekali tidak meminta balasan atau imbalan apapun. Dan kurang lebih makna
ayat ini adalah ‘ tidak meminta imbalan dan kalian tetapi kecintaan
dalam kekerabatan. Cintailah aku dengan jalan mencintai kerabatku’ ini
seperti pendapat yang dikemukakan Ibnu Abbas.
Disalin dari buku Membantah Argumentasi Syi’ah oleh: Utsman bin Ahmad al-Khumais
Sumber: http://wimakassar.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar