Rabu, 27 Juni 2012

Membantah Argumentasi Syi’ah: tentang Ayat Dzawi Qurba

Yang dimaksud ayat dzawi qurbâ oleh kaum Syiah adalah firman Allah kepada Rasulullah ketika memerintahkan beliau agar berkata kepada manusia:‘ .Katakanlah, aku tidak meminta dan kalian suatu imbalan apapun atas seruanku ini tetapi kasih sayang dalam kekeluargaan…’.” (Asy-Syura [ 23).
Kalangan Syiah menafsirkan maksud kekeluargaan pada ayat itu sebagai Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain.
Seperti misalnya yang dilakukan oleh Anthaki dalam kitabnya, Limâdza Ikhtartu Madzhab Asy-SyI’al’z, yang tampaknya sangat lancang dan tergesa-gesa —kendati saya seratus persen yakin bahwa kitab tersebut sebenarnya bukan hasil karyanya, tapi ditulis oleh orang lain lalu dinisbatkan kepada dirinya, wallahu a’lam. Ketika sampai pada ayat tersebut, dia mengutip satu hadits dan Shahih Al-Bukhâri yang isi sebenarnya bahwa Ibnu Abbas ditanya seseorang tentang makna ayat tersebut. Belum sempat Ibnu Abbas menjawab, Said bin Jubair sudah mendahuluinya dengan, “Kecuali kalian menyayangi kerabatku.” Ibnu Abbas membantahnya dengan berkata, “Kamu terlalu gegabah. Demi Allah, tidak satu pun keluarga besar dan sekian banyak keluarga besar di suku Quraisy melainkan ada pertalian kekerabatan antara mereka dengan Nabi. Maksudnya yang benar adalah kecuali kalian menjalin kekerabatan yang ada antara diriku dengan kalian. (Shahih Al-Bukhâri, no. 4818).
Apa yang dilakukan oleh Anthaki —atau orang yang menulis kitab tersebut lalu menisbatkannya kepada dia— sangat tidak bertanggung jawab; dia tidak mengutip hadits itu secara utuh, tetapi sebagiannya dibuang dan bahkan dipelintir, padahal sumber hadits yang sebenarnya adalah dari riwayat Bukhari. Yang ia kutip dalam bukunya adalah: “Ibnu Abbas berkata, “Kecuali kalian menyayangi kerabatku” Ia sengaja mengacuhkan sanggahan Ibnu Abbas terhadap pendapat Said bin Jubair, dan justru perkataan yang sebetulnya diucapkan oleh Said bin Jubair itu malah dinisbatkan kepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Silakan Anda menilai sendiri perbuatan ini. Jelas, ini bukan cara dan metode orang beriman, karena mereka tidak akan memotong hadits, tidak melakukan tadils (menyamarkan makna aslinya), dan tidak pula menambahkan kedustaan di dalamnya.
Berkaitan dengan penyebutan kerabat/keluarga, ada juga firman Allah, “Dan ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sungguh seperlimanya untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil....” (Al-Anfal [ 41). Distribusi pembagian ghanimah menurut mereka adalah 1/5 bagi Allah dan Rasul, 1/5 untuk sanak kerabat Rasul, 1/5 untuk anak-anak yatim, 1/5 bagi fakir miskin, dian 1/5 lagi kepada ibnu sabil. Inilah yang mereka sebut khumus (seper- lima). Khumus ini memang hanya diambil dan harta rampasan di medan jihad, karena Allah Ta’ala berfirman “sesungguhnya apa saja yang kamu peroleh sebagai rampasan perang”, namun amatlah disayangkan harta rampasan jihad atau ghanimah yang seharusnya diambil dan harta orang-orang kafir justru mereka ambil dari umat Muslim.
Di sini ada dua hal yang menjadi letak kesalahan mereka. Pertama, terkait porsi jatah pembagian ghanimah, dan kedua, menyangkut asal harta yang dibagi-bagikan itu diambil dan mana. Untuk yang pertama, semestinya 1/5 dan ghanimah itu memang dibagi rata ke pada Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, fakir miskin, dan ibnu sabil, sehingga 4/5 yang tersisa dan keseluruhannya adalah untuk para mujahidin.
Jika diilustrasikan, seandainya total keseluruhan ghanimah bernilai 10.000 (bisa dinar atau dirham), maka ghanimah tersebut dibagi menjadi lima bagian yang sama, yang masing-masing bernilai 2.000. Selanjutnya, empat bagiannya dibagikan kepada para mujahidin yang turut bertempur di medan peperangan, yakni sebanyak 8.000, sedangkan sisanya yang satu bagian itu, 2.000, dibagi menjadi lima bagian lagi: (1) 400 untuk Allah dan Rasul, (2) 400 untuk kerabat Rasul, (3) 400 untuk anak-anak yatim, (4) 400 untuk fakir miskin, dan (5) 400 untuk ibnu sabil. Demikianlah seharusnya pembagian yang benar menurut petunjuk Allah .
Lalu sekarang, apa yang dilakukan kaum Syiah? Seperti sudah disinggung tadi, bahwa mereka memberikan kerabat Rasul 1/5 bagian dari total keseluruhan harta. Bila memakai ilustrasi di atas, maka kerabat Rasul akan mendapatkan harta ghanimah senilai 2.000, bukan 400 seperti yang dituntunkan Allah Ta’ala.
Persoalan kedua, semestinya harta ghanimah yang dibagi hagikan berasal dan harta musuh kafir yang dirampas di medan pertempuran, bukan dan harta muslimin. Sementara yang dilakukan oleh kaum Syiah, mereka mengambilnya dan harta muslimin kemudian 1/5 diserahkan kepada kerabat Rasul. Jelas, apa yang mereka lakukan ini bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga kita tidak bisa menerimanya.
Jika kita bandingkan pula antara surah Al-Anfal ayat 41 dengan surah Asy-Syura ayat 23, ada perbedaan signifikan di sana. Penyebutan qurba (kerabat) dalam surah Al-Anfal ayat 41 diawali dengan huruf lam yang berarti “untuk” atau “bagi”, sedangkan dalam surah Asy-Syura ayat 23 diawali dengan huruf fi yang bermakna “dalam” Jelas beda antara kata “untuk kerabat” dengan “dalam kekerabatan Oleh karenanya, kita meyakini bahwa Nabi tidak mungkin meminta imbalan dalam dakwah. Bagaimana beliau akan meminta imbalan sementara karakter beliau seperti yang difirmankan Allah, ‘…Aku tidak meminta imbalan sedikit pun dan kamu atas seruanku, dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-ada.” (Shad [38]: 86).
Bukan hanya Nabi , bahkan semua nabi tidak meminta imbalan dan kaum mereka. Tentang Nabi Nuh Allah berfirman, “Dan aku tidak meminta imbalan dan kalian atas ajakanku ini. Imbalanku hanya dari Rabb seluruh alam.” (Asy-Syuara [26]:109). Juga tentang Nabi Hud “Dan aku tidak meminta imbalan darimu atas ajakanku ini. Imbalanku hanyalah dari Rabb seluruh alam.” (Asy-Syuara [26]: 127). Demikian pula yang dikatakan oleh Nabi Shalih, Luth, dan Syuaib, “Dan aku tidak meminta imbalan darimu atas ajakanku ini. Imbalanku hanyalah dari Rabb seluruh alam.” (Asy-Syuara [26]: 145).
Sebagaimana kita ketahui, Nabi Muhammad adalah penghulu para Nabi dan Rasul. Jika saudara-saudara beliau sesama Nabi dan Rasul itu, seperti Nabi Nuh, Luth, Hud, Shalih, Syuaib, dan lainnya —semoga shalawat dan salam terlimpah atas mereka semua— tidak meminta imbalan dan manusia atas kerja dakwah yang mereka lakukan, tentunya Nabi Muhammad harus lebih meneladankan untuk tidak meminta imbalan tersebut. Mereka semua, para nabi dan rasul itu, hanya meminta imbalan dari Allah saja. Jadi, inilah pengertian firman Allah, “Katakanlah,’Aku tidak meminta darimu suatu imbalan apapun atas seruanku tetapi kasih sayang dalam kekeluargaan’.” Kata illa dalam ayat ini dimaknai lâkin (tetapi), bukan illâ (kecuali) seperti biasanya yang memiiki makna pengecualian. Sehingga, Nabi  sama sekali tidak meminta balasan atau imbalan apapun. Dan kurang lebih makna ayat ini adalah ‘ tidak meminta imbalan dan kalian tetapi kecintaan dalam kekerabatan. Cintailah aku dengan jalan mencintai kerabatku’ ini seperti pendapat yang dikemukakan Ibnu Abbas.
Disalin dari buku Membantah Argumentasi Syi’ah oleh: Utsman bin Ahmad al-Khumais
Sumber: http://wimakassar.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar