Selasa, 26 Juni 2012

SYIAH JEPARA:Kedamaian Sunni dan Syiah Di Jepara, betulkah?


Liputan Rofiuddin, wartawan Tempo
Bacaan Kumail jemaah Syiah terdengar berdengung menerobos keheningan malam dari Masjid Al-Husain, Candi Bangsri, Jepara. Di masjid yang terletak di tepi sungai itu, para jemaah duduk bersila menghadap kiblat sembari melantunkan bacaan dengan pengeras suara. Isi bacaan itu memuja Kumail bin Ziyad Nakha’i, sahabat pilihan Imam Ali.
Di belakang masjid, terdengar pula lantunan pembacaan salawat Dibaiyyah dan Barzanji, ciri khas warga Nahdlatul Ulama, yang merupakan penganut Sunni. Suara itu berasal dari Masjid Al-Arif, yang terletak kurang dari 100 meter dari Masjid Al-Husaini. Suara bacaan ibadah dua kelompok itu sahut-menyahut pada Kamis malam, 1 Maret lalu. Masjid Al-Husaini adalah masjid Syiah, sementara Masjid Al-Arif merupakan masjid Sunni.
Di Desa Candi, penganut Syiah dan Sunni hidup damai berdampingan. Misalnya, saat pendirian Masjid Al-Husaini, kaum Sunni ikut membantu. Begitu juga sebaliknya, saat kaum Sunni mendirikan Masjid Al-Arif, kaum Syi’ah ikut membantu. Komposisi penduduk dukuh ini hampir merata antara penganut Sunni dan Syiah, yakni sekitar 70 keluarga penganut Syiah dan 70 keluarga Sunni.
Interaksi sosial berlangsung nyaris tanpa gesekan, termasuk soal peribadatan. Jika ada warga Sunni meninggal, warga Syiah ikut menyalatkan dengan cara Syiah. Begitu juga sebaliknya. Yang berbeda imamnya. Jika warga Sunni meninggal, imam salatnya penganut Sunni, begitu juga sebaliknya. Meski Jepara dikenal sebagai basis Sunni, terutama Nahdliyin, penganut Syiah tak lagi beribadah secara taqiyyah (sembunyi-sembunyi). Bahkan di rumah penganut Syiah juga terpampang lukisan tentang Syiah.
Sejarah perkembangan penganut Syiah di Jepara dan Jawa Tengah tak bisa lepas dari Desa Candi, Jepara. Awalnya, Ustaz Abdul Ghadir Bafaqih dari Tuban menikah dengan perempuan dari Desa Candi. Pada 1970-an, memang terjadi revolusi Iran, yang berpengaruh pada perkembangan Syiah, termasuk di Indonesia. Ghadir juga pernah belajar di Hadramaut, Yaman. Pada 1974, Ghadir banyak memperoleh kiriman buku dari Kuwait terbitan Darut Tauhid. Berbekal buku itu, Ghadir banyak bicara soal Syiah. Puncaknya, Syiah “dideklarasikan” pada 1982. Ghadir mendirikan Pesantren Al-Khairat.
Ahmad Badawi, generasi pertama murid Ghadir, menyatakan kala itu Al-Khairat hanya mengajarkan Bahasa Arab, yang bisa menjadi pintu masuk mempelajari kitab. Selain itu, Ghadir menelorkan beberapa karya, seperti Haqqul Mubin dan Muhammadun wa Akhuhu. Kedua karya itu menjadi rujukan dan sumber ideologi Syiah. Karena pondok itu terus berkembang, pemberitaan ihwal ajaran Syiah yang dibawa Abdul Ghadir pun meluas. Masyarakat menanggapinya biasa saja. Namun ada beberapa murid Abdul Ghadir yang dilaporkan ke Komando Distrik Militer karena dianggap berbeda.
Miqdad Turkan, murid Ghadir lainnya, mengatakan gurunya adalah penganut Sunni. Para santrinya juga banyak dari kalangan Sunni, terutama Nahdlatul Ulama dan Muhamadiyyah. Belakangan, kata Mihdad, sebagian santrinya ada yang tetap beraliran Sunni dan ada pula yang beralih ke Syiah. “Sejak itulah Syiah di Candi berkembang. Santrinya meluas dari berbagai daerah. Kabar tentang adanya pesantren Syiah pun menyebar,” kata Miqdad.
Setelah 10 tahun mengelola pesantren itu, Ghadir memasuki usia sepuh. Dia sering sakit. Pesantren itu mulai berkurang aktivitasnya. Akhirnya Ghadir wafat pada 17 Agustus 1993. Dia dimakamkan di Kauman, Bangsri. Setelah itu, kegiatan pesantren mandek. Pesantren pun tutup karena tak ada yang mengurus. Makam Ghadir terletak berdampingan dengan makam istrinya. Berdiri di atas bangunan berbentuk panggung joglo seluas dua kali lapangan bulu tangkis, makam Ghadir selalu ramai dikunjungi peziarah.
Karena anak-anak Ghadir belum sempat melanjutkan perjuangan Syiah, pada 1999, murid Ghadir berinisiatif mendirikan Yayasan Islam Darut Taqrib di Krapyak, Jepara. Mereka tidak ingin melihat ajaran Syiah tinggal sejarah karena tak ada regenerasi. Selain itu, saat itu banyak Ahlul Bait–sebutan bagi penganut Syiah–sudah pulang menimba ilmu dari Qum University, Iran.
Setelah itu, didirikanlah Pondok Pesantren Darut Taqrib untuk menampung santri yang ingin mempelajari Syiah. Berdiri di atas lahan seluas kurang dari 1 hektare, bangunan pondok itu terdiri atas masjid, pendapa, dan kamar santri. Selain membawahi pesantren, penganut Syiah membentuk berbagai forum seperti Fatimiyyah (pengajian ibu-ibu), Zainabiyyah (pengajian remaja putri), Forum Ilmiah Remaja Ahlul Bait (Firab). Di bidang sosial, Syiah juga punya Himpunan Peduli Komunitas Masyarakat. Pesantren Darut Taqrib merupakan salah satu arena pendidikan Syiah. “Pendidikan ini adalah salah satu bentuk kaderisasi,” kata Miqdad, yang juga menjabat Ketua Dewan Syuro Ahlul Bait Indonesia.
Kini, Darut Taqrib dihuni sekitar 40 santri. Tak hanya dari Jepara, santri juga datang dari berbagai provinsi di Indonesia seperti Lampung dan Jawa Timur. Ada yang hanya mondok dan ada pula yang sambil bersekolah di sekolah umum. Abdullah, misalnya, ia bersekolah di sekolah menengah kejuruan dan mondok untuk mempelajari Syiah. Miqdad menyatakan dana operasional Syiah berasal dari iuran anggota. “Tak benar jika ada yang menyebut kami dapat dana dari Timur Tengah,” katanya.
Pesantren Syiah, Darut Taqrib, berdiri di tengah lingkungan Nahdlatul Ulama, yang merupakan penganut Sunni di Desa Candi Bangsri, Jepara. Meski beberapa praktek peribadatannya berbeda, warga Syiah dan warga NU hidup damai di wilayah ini. Menurut Miqdad Turkan, murid Abdul Ghadir Bafaqih, pendiri aliran Syiah di Jepara, ada beberapa faktor yang menyebabkan kaum Syiah dan Sunni di Jepara bisa hidup damai.
Ada faktor hubungan kekerabatan dan pertemanan sejak lama. “Banyak tokoh kiai di Jepara dan sekitarnya pernah menjadi murid Ghadir,” kata Miqdad. Karena itu, ketika Abdul Ghadir beralih ke Syiah, muridnya tahu bahwa Abdul Ghadir memang berbeda sejak awal, sehingga tak menimbulkan masalah.
Selain itu, para kiai muda di Jepara juga berteman baik sejak di bangku sekolah. Yang tak kalang penting, kata Miqdad, kaum Syiah di sana tak pernah bertindak ekstrem atau berambisi mengajak orang Sunni masuk ke Syiah. “Orang Syiah berkembang secara alamiah dan orang lain melihat Syiah juga secara alamiah pula,” katanya.
Bagi Miqdad, secara naluriah, orang terus berproses dalam pencarian akibat ketidakpuasan spiritual. “Silakan diskusi. Selanjutnya Anda jadi Syiah atau tidak, itu hak anda. Orang yang bijak adalah yang bisa memahami orang lain tanpa harus mengikuti,” kata Miqdad.
Muhammad Ali, salah satu pengasuh pondok Darut Taqrib, menyatakan menjadi penganut Syiah secara alamiah setelah banyak membaca buku. “Saat umur 16 tahun, saya banyak membaca buku tentang Islam dan masyarakat, serta tentang Islam dan tantangan zaman,” katanya. Setelah itu, dia mondok di Pekalongan.
Sebelumnya, Ali adalah penganut Sunni tulen. Keluarganya pun pengikut setia Sunni. Kini, Ali beralih ke Syiah, sedangkan keluarganya masih ikut Sunni. Keluarga Ali juga tak mempersoalkan pilihan keyakinan anaknya. “Perbedaaan dalam hal kehidupan adalah sesuatu yang biasa, yang penting saling menghargai,” katanya.
Miqdad menambahkan, silakan menjadi pengikut Syiah atau Sunni. “Yang penting jangan berhenti belajar dan selalu membela kaum mustad’afin (kaum lemah),” ujarnya. Miqdad mencontohkan, penganut Syiah dan Sunni di Jepara sering melakukan salat berjamaah. Miqdad mengatakan, dalam salat berjamaah itu, tangan penganut Sunni bersedekap, sedangkan tangan penganut Syiah tidak demikian. “Tidak ada masalah. Itu hanya perbedaan yang tak substansial,” katanya.
Miqdad memperkirakan bahwa konflik antara kaum Syiah dan Sunni yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia menunjukan ketidakpahaman mereka tentang Syiah. Dia menjamin hubungan Syiah-Sunni di Jepara akan tetap aman. “Kecuali kalau ada provokator dari luar daerah,” kata dia.
Menurut Miqdad, yang menarik perhatian masyarakat lain terhadap Syiah adalah kisah heroisme beberapa tokoh, misalnya pemimpin Hizbullah Lebanon, Syekh Hasan Nasrullah; Presiden Iran Mahmoud Ahmadinnejad, dan pemimpin Revolusi Iran, Ayatullah Khomeini.
Selain di Jepara, jemaah Ahlul Bait ada di Semarang. Sekitar 200 penganut Syiah terpencar di seantero Semarang. Berbeda dari sebelumnya, kini penganut Syiah tak lagi bersembunyi (taqiyah). Di Kampung Bulu, Stalan, misalnya, meski hanya ada tiga keluarga penganut Syiah, mereka sudah secara terbuka menunjukkan keyakinannya sebagai penganut Syiah.
Pengurus Yayasan Nuruts Tsaqalain, Nurkholishm menyatakan penyebaran Syiah tak dilakukan melalui doktrinasi. “Salah besar jika ada anggapan kalau Syiah berkembang di Indonesia karena mobilisasi,” katanya. Beralihnya seseorang menjadi Syiah lebih didasarkan pada pencarian kepuasan keilmuan. Salah satunya melalui buku. Pada 2009, buku tentang Syiah berjumlah sekitar 750 judul.
Pencarian kepuasan ilmu memang menjadi ciri khas penganut Syiah. Berbagai tema kehidupan juga menjadi bahan diskusi mereka. Namun kini komunitas Syiah juga mulai berkonsentrasi pada kegiatan sosial. “Dialog intelektual diminimalkan karena kebutuhan masyarakat luas adalah aksi nyata,” kata Nurkholis.
Jemaah Syiah di Jepara dan Semarang sering menyalurkan beasiswa, membedah rumah, melakukan bakti sosial, mendonorkan darah, dan membantu korban bencana alam. Mereka juga bekerja sama dengan berbagai kelompok penganut agama lain tanpa mengibarkan atribut apa pun.
Pengajar Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang, Muhksin Jamil, yang menyusun disertasi tentang Syiah di Jepara, menyatakan komunitas Syiah Jepara terbangun atas dasar persamaan proses pencarian kepuasan keilmuan dan peribadatan. Yang tak kalah penting, kata Muhksin, penganut Syiah tak menutup mata terhadap masalah sosial. “Mereka sering membela kaum mustad’afin (kaum lemah) dengan membedah rumah, memberi beasiswa, dan menyalurkan bantuan,” katanya. (DarutTaqrib/Koran Tempo/Adrikna!)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar