Seorang mantan petinggi senior militer Suriah menjelaskan
bagaimana ia membelot dan bergabung dengan pasukan oposisi setelah
menyaksikan ratusan milisi pro-Assad melakukan pembantaian yang sangat
mengerikan di kota Al-Haulah baru-baru ini.
Kisah tentang Mayor Jihad Raslan ini datang seiring tim khusus PBB
dikerahkan ke Suriah. Kofi Annan, kemarin, telah memperingatkan
peningkatan resiko perang di Suriah. “momok perang habis-habisan dengan
dimensi sectarian tumbuh dari hari ke hari,” kata Annan dalam pidatonya
di perkumpulan Liga Arab.
Raslan masih mengabdi, pada Sabtu lalu, sebagai tentara di Pasukan
Angkatan Udara Suriah rezim Bashar Assad di kota pelabuhan strategis,
Tartus. Dia telah berada di Haulah ketika kota itu dihujani bom setelah
pukul 13:00 pada hari Jum’at (25/5/2012), kemudian diinvasi oleh sebuah
milisi lokal, yang dikenal sebagai Shabihah (milisi Syi’ah Shabihah),
dalam salah satu kekejaman terburuk sejak kerusuhan Suriah dimulai.
Cerita mantan tentara Suriah ini mungkin adalah salah satu testimoni
yang terpenting bagi para pengamat sejak pembantaian dimulai.
Raslan berkata ia berada di rumahnya saat itu, sekitar 300 meter dari
tempat kejadian pembantaian di desa Taldous di kota itu, dimana ratusan
pria yang ia ketahui bahwa mereka adalah para anggota milisi Shabihah,
melaju ke kota dengan kendaraan dan truk militer dan dengan sepeda
motor.
“Banyak dari mereka botak dan banyak yang berjanggut,” katanya.
“Banyak yang memakai sepatu sport putih dan celana militer. Mereka
meneriakkan: ‘Shabihah selamanya, untuk matamu, Assad!’. Sangat jelas
siapa mereka.”
“Kami biasa diberitahu bahwa sekelompok bersenjata membunuh
orang-orang dan Tentara Kebebasan Suriah membakar rumah-rumah,” katanya.
“Mereka berbohong kepada kami. Sekarang saya melihat apa yang mereka
lakukan dengan mata kepala saya sendiri.”
Raslan mengatakan bahwa, dikiranya, pembunuhan di daerahnya telah
selesai sekitar 15 menit. Namun ternyata, amukan di bagian lain di
Haulah dilanjutkan hingga dini hari pada hari Sabtu (26/5), berdasarkan
kepada saksi mata dan para korban yang masih hidup.
“Korban-korban itu yang dibantai adalah orang-orang yang saya kenal
baik,” kata Raslan. “Anak-anak itu saya kenal baik, secara pribadi. Saya
makan dengan keluarga mereka. Saya memiliki hubungan sosial dengan
mereka. Rezim tidak dapat berbohong tentang orang-orang ini, siapa
mereka dan apa yang mereka (rezim) lakukan terhadap mereka. Tindakan
brutal oleh rezim ini terhadap rakyat yang berada di pihak revolusi,”
katanya.
Raslan mengatakan bahwa ia bekerja di sebuah pangkalan rudal di
Tartus, mengeluarkannya (rudal) dalam kebiadaban sehari-hari di
kerusuhan Suriah. “Saya tahu mereka telah berbohong, tetapi saya tidak
kena dampak dari itu. Ini adalah yang pertama kalinya saya melihat yang
seperti ini.”
Dia mengatakan bahwa pembelotan telah meningkat tajam di hari-hari
setelah pembantaian di Haulah dan ia mengklaim bahwa ia mengetahui bahwa
lima pembelot ditembak mati karena mereka berusaha melarikan diri ke
kebun zaitun tidak jauh dari Haulah setelah pembantaian itu.
“Banyak lagi yang ingin pergi,” katanya, “tetapi mereka tidak bisa.
Semua hari libur telah dibatalkan oleh pihak militer. Ini sebuah resiko
yang sangat serius jika setiap orang berusaha untuk melarikan diri
sekarang. Saya satu-satunya yang diizinkan untuk pergi karena
pengecualian keadaan keluarga.”
Tentara pembelot kedua dari Haulah, yang berbicara tentang
pembantaian sadis di Haulah, adalah seorang seorang letnan yang mengabdi
di dekat kota Homs pekan lalu, mengklaim bahwa pembantaian Haulah telah
mengubah pemikiran banyak tentara yang tidak mendukung kekerasan rezim.
Menurut catatan pengamat, para petinggi senior di jajaran militer
loyalis Assad sebagian besar adalah dari golongan sekte Syi’ah Alawiyah
yang menggunakan negara polisi tanpa kompromi untuk menjaga cengekeraman
pakaian besi mereka terhadap masyarakat Suriah. Sementara sebagian
tentara di jajaran bawah militer rezim Assad itu dari kalangan Sunni.
“Tidak ada tentara Sunni di sekitar Haulah (ketika pembantian
terjadi),” kata mantan letnan itu. “Mereka semua adalah Alawiyah, para
petinggi dan para tentaranya.” (Haulah) adalah daerah yang sangat
sensitif. Banyak Shabihah di Suriah datang dari sini. Mereka tidak akan
membelot dari sini.”
Dia mengatakan bahwa ia sering melihat kelompok Shabihah bekerja
bersama pasukan rezim, tetapi ia juga mengatakan bahwa tampaknya mereka
menerima perintah dari para pejabat intelijen, terutama Direktorar
Intelijen Angkatan Udara, yang memainkan peran garis depan dalam
kekerasan rezim Assad. “Militer memberikan mereka senjata dan
perlindungan, dan mengawal mereka dengan tank-tank,” katanya. “Tetapi
mereka terkadang bekerja secara independen.”
Menurutnya, bahwa adda sedikit perpecahan diantara basis dukungan
inti Assad, dengan jajaran tinggi militer tetap mendukung kekerasan
rezim yang dilakukan terhadap Muslim Suriah, yang digambarkan oleh
Damaskus sebagai pertempuran melawan kelompok Jihad yang dengan berusaha
menjatuhkan rezim. Tentara Alawiyah loyalis Assad mulai khawatir dan
takut bahwa Assad akan segera digulingkan, menurut mantan letnan ini.
“Saya ingin dua saudara saya meninggalkan (jajaran militer –red). Ini
adalah sebuah situasi yang sangat sensitif, situasi berbahaya untuk
keluarga saya. Setiap orang berada dalam resiko. Dari awal kami tahu
bahwa mereka berbohong. Semuanya bohong. Tetapi keluarga saya adalah hal
yang paling penting. Kami harus melindungi satu sama lain.”
Pemboman terus berlanjut hampir setiap hari setelah pembantain
Haulah, dan Raslan mengatakan bahwa penduduk Haulah yakin bahwa pasukan
rezim menyerbu rumah-rumah dimana pembantaian terjadi. “Mereka ingin
menghancurkan bukti,” katanya. “Mereka ingin membunuh saksi mata.”
Diterjemahkan dari The Guardian, 2 Juni 2012
(siraaj/arrahmah.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar