Rabu, 27 Juni 2012

Pernyataan Para Tokoh Islam Indonesia Tentang Kesesatan Syiah

Komentar Beberapa Tokoh Islam Tentang Syi’ah

1.         Pengantar Ketua LPPI Pusat
“Oleh karenanya, bilamana ada doktor yang mengatakan, antara Syi’ah dan Sunni itu sama saja, sebab hanya ada perbedaan fiqih semata, maka itu menunjukkan doktor tersebut tidak mengerti sama sekali tentang Syi’ah dan juga tidak mengerti tentang Sunni (tidak mengerti tentang Agama, tentang Islam).
Dan sehubungan dengan itulah, kumpulan makalah ini dibukukan dan kemudian diterbitkan, karena sangat perlu dibaca kaum muslimin bangsa Indonesia, agar supaya mereka terhindar dari kesesatan Syi’ah. Sebab, kalau boleh ditamsilkan Syi’ah itu dengan sekaleng makanan, maka kaleng makanan tersebut sesungguhnya adalah berisi daging babi, namun label dan kemasannya ditulis daging sapi murni serta seratus persen halal. Jadi, semua serba penipuan, sama halnya dengan pelacuran yang kemudian dikemas dengan istilah nikah mut’ah, kemunafikan dan kebohongan dikemas dengan istilah taqiyah.
Akhirnya demikianlah kata pengantar ini kami sampaikan, semoga kita semua terpelihara dari kesesatan dan penyesatan Syi’ah, ajaran sesat yang berkedok Islam, musuh dalam selimut kaum muslimin, kita harus dan perlu mewaspadainya” (H. M. Amin Jamaluddin, ketua LPPI Pusat, Mengapa kita Menolak Syi’ah, hal: XI-XII, 16 November 1997)
2.          Ketua MUI Pusat
“Saya sampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada LPPI yang telah bekerja keras mengumpulkan bahan-bahan untuk penerbitan buku tersebut. Akhirnya saya berharap semoga buku tersebut dapat dibaca oleh umat Islam Indonesia dalam upaya membendung paham Syi’ah di Indonesia” (KH. Hasan Basri, Ketua MUI Pusat, Mengapa kita Menolak Syi’ah, 8 Januari 1998, hal: XIII)
3.          Ketua PP Muhammadiyah
“Kami berpendapat, bahwa ada kelemahan dan kekurangan dari golongan Syi’ah itu. Oleh sebab itu kepada segenap umat Islam dianjurkan untuk mempelajarinya secara kritis dengan menjadikan Al Quran dan Al Sunnah Al Shahihah sebagai alat dan standar penelitiannya” (Dr. Amin Rais, ketua PP Muhammadiyah, Mengapa kita Menolak Syi’ah, hal: XIV)
4.          Ketua PBNU
“Syuriah PBNU di Jakarta menganggap penting dibukukannya makalah-makalah tentang Syi’ah yang disampaikan pada Seminar Nasional Sehari tentang Syi’ah pada tanggal, 21 September 1997 di aula masjid Istiqlal Jakarta.

Karena makalah-makalah itu memuat penjelasan yang akurat tentang hakikat aqidah dan ajaran Syi’ah yang diangkat dari buku-buku Syi’ah yang standar (Mu’tabarah).
Maka kumpulan-kumpulan ini perlu dibaca dan dipahami oleh kaum muslimin, terutama para intelektualnya, agar mengetahui secara jelas perbedaan yang prinsipil antara Ahlus Sunnah dan Syi’ah, tak terkecoh oleh obrolan propagandis-propagandis Syi’ah, yang menyamakan Syi’ah dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah” (PBNU, Rais Aam: KH. M. Ilyas Ruhiat, Katib Aam: KH. Drs. M. Dawam Anwar, Mengapa kita Menolak Syi’ah, 14 Oktober 1997, hal: XV)

5.       PP PERSIS
“Perbedaan paradigma yang dimaksud adalah paradigma tentang kedudukan sahabat Nabi. Mayoritas sahabat Nabi menurut paradigma Syi’ah adalah para pengkhianat dan karena itu, para sahabat diberi gelaran tidak senonoh dan tidak ada sopan santun sama sekali. Menurut penilaian mereka hanya sebagian kecil saja di antara para sahabat yang dianggap jujur, yaitu antara lain: Abu Dzar, Salman al Farisi, dan Miqdad bin Aswad. Para sahabat besar, seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman bin Affan (walaupun yang terakhir ini masih menantu Nabi pula) dilihat sebelah mata, dihina, bahkan dicaci maki sebagaimana akan ditemukan dalam makalah-makalah yang akan dibaca nanti. Padahal Al Quran dan Hadits menempatkan sahabat sedemikian mulia karena perjuangan mereka dalam membela Islam. Salah seorang imam mereka di abad modern ini, misalnya, yang dikultuskan sebagai imam yang agung itu oleh para pengagumnya, ternyata ucapannya, tidak lepas pula dari cacian tersebut, sebagaimana ia ucapkan kepada Abu Bakar ra. dan Umar ra. yang menyebutkannya sebagai ‘Dua Berhala Quraisy’. Istri Rasul yang dihormati, yaitu Aisyah dan Hafshah yang digelari Ummul Mukminin disebut sebagai ‘Dua Puteri Berhala Quraisy’. Suatu ucapan yang tidak layak dikeluarkan oleh seorang intelektual dan pemimpin bangsa” (PERSIS, Ketua Bid. Tarbiyah: Dr. H. M. Abdurrahman, MA, Sekretaris Umum: H. Emon Sastranegara, Mengapa kita Menolak Syi’ah, 15 Oktober 1997, hal: XIX)
6.          Sambutan Ketua LPPI Pusat
“Sebagaimana dimaklumi, bahwa LPPI adalah sebuah lembaga yang mengkhususkan diri untuk meneliti aliran-aliran sempalan yang muncul di Indonesia, kemudian kami melaporkannya kepada MUI Pusat, Departemen Agama RI, Kejaksaan Agung RI, serta pihak-pihak yang terkait yang ada hubungannya dengan masalah yang dihadapi.
Ada salah satu wartawan ibu kota yang bertanya kepada kami, pertanyaannya antara lain: ‘Tidakkah dengan menyelenggarakan Seminar Nasional Sehari tentang Syi’ah ini, bisa menimbulkan perpecahan di antara umat Islam Indonesia?’. Kami menjawab: Rumusan persatuan itu apa?, sebab masalah sekarang ini di Indonesia, seumpama kebun, sebidang kebun. Kebun isinya Ahlus Sunnah. Yang punya Ahlus Sunnah, sudah turun temurun dari dulu. Sekarang datang orang-orang Syi’ah dan menggarap kebun yang berisi Ahlus Sunnah, milik Ahlus Sunnah. Datang yang punya, yang punya kebun. ‘jangan digarap ini kebun, ini milik kami, kebun kami sejak dulu turun-temurun’. Tapi orang-orang Syi’ah tetap bersikeras untuk menggarap. Akhirnya terjadi cekcok. Maka dalam hal ini, yang salah siapa? Yang mempertahankan kebun haknya, yang salah, ataukah yang menggarap kebun orang, itu yang salah?.
Kalau menggarap boleh saja menggarap namun jangan di kebun orang, tetapi yang masih hutan rimba di sana, kita sama-sama menggarap hutan rimba yang belum diisi atau dimiliki oleh orang lain. Itulah jawaban saya terhadap salah satu wartawan tersebut.” (H. M. Jamaluddin Amin, Ketua LPPI Pusat, Mengapa kita Menolak Syi’ah, hal: XXVII-XXVIII)

7.         Kata Sambutan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia

-          Membaca kesimpulan tersebut, memang terdapat dengan terang beberapa penyimpangan ajaran Syi’ah, terutama dari segi aqidah dan ibadah. Kesimpulan seminar nasional sehari tentang Syi’ah tersebut perlu sekali ditindak lanjuti dengan upaya-upaya yang terprogram, guna membentengi umat dari ajaran sesat ini, serta menjaga keutuhan umat dan bangsa dari kemungkinan terjadinya perpecahan.
-           Dalam buku “Syi’ah dan Sunnah” karangan Prof. Dr. Ihsan Ilahi Zahir, MA, yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Bey Arifin, diterbitkan oleh PT. Bina Ilmu Surabaya cetakan pertama tahun 1984, dapat kita simak setumpuk besar masalah mengenai perbedaan antara Ahlus Sunnah dan golongan Syi’ah.
-          Mengantar penerbitan buku tersebut, almarhum Bapak Muhammad Natsir memberi sambutan dengan judul “Kata Berjawab”.
Antara lain beliau mengatakan:
Kalau perkembangan sudah demikian (pengaruh ajaran seesat dari Syi’ah, pen), apakah para alim ulama kita di Indonesia bisa mendiamkan saja?
Tidak bisa dan tidak boleh!
Mereka, alim ulama adalah, sebagaimana yang dilukiskan dalam Al Quran:
Yakni satu golongan yang fungsinya memperdalami ilmu agama dan memberi ingat kepada kaum mereka bila mereka kembali, agar mereka ini senantiasa waspada. Ini tugas alim ulama.
Kata berjawab, gayung bersambut, yaitu: Secara bijaksana (bilhikmah), dalam rangka pendidikan (wal mau’izhah Al-hasah) dan bertukar pikiran, bertukar hujjah dan alasan (mujaddalah billati hiya ahsan)dengan cara yang terbaik”.
-          Melihat perkembangan akhir-akhir ini, dimana komunikasi informasi melalui media cetak dan elektronik yang semakin canggih bisa dimanfaatkan untuk berbagai tujuan, maka setiap orang maupun golongan dapat dengan mudah menyodorkan idea dan keyakinannya kepada orang lain, terutama kepada anak-anak muda yang belum punya pegangan hidup yang mantap. Demikian pula umat kita yang tergolong ”dhu’afa” yang lemah dalam bidang ekonomi, ilmu pengetahuan dan lebih-lebih dalam bidang aqidah dan ibadah, dengan mudah menjadi sasaran yang empuk dari ajaran-ajaran yang sesat.
-          Disinilah letaknya tugas berat dari para Ulama, Zu’ama, para pendidikan dari Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi para muballigh dan da’i di lapangan, untuk selalu waspada dan berusaha keras membentengi umat dari segala macam pengaruh yang merusak agama dan memecah belah persatuan umat dan bangsa. Dan tak kurang pula -tentunya- adalah menjadi tanggung jawab dari para Umara (Pemerintah) dari pusat sampai ke daerah, dari kota sampai desa di seluruh wilayah tanah air ini. (H. Hasanuddin Abu Bakar, Sekretaris DDII Pusat, Mengapa kita Menolak Syiah, hal: xx-xxi)

 8.         Sambutan Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyyah
“…Diharapkan hasil cetakan dapat disebarluaskan kepada seluruh lapisan masyarakat agar lebih memahami hakekat ajaran Syi’ah, dengan demikian menyadari betapa berbahayanya paham tersebut apabila menyebar dan tersebar luas di Indonesia. “
Mengapa Berbahaya?
-          Umat Islam Indonesia merupkan Ahlus Sunnah yang mempunyai perbedaan aqidah, fiqiyyah dan akhlak yang asasi dengan aliran Syi’ah, seperti: masalah imamah, martabat, ke-ma’shum-an; pandangan yang merendahkan terhadap Khulafa-ur-Rasyidin selain Khalifah Ali bin Abi Thalib; kebiasaan bertaqiyyah dan sebagainya. Perbedaan itu sulit dipertemukan apalagi dikompromikan.
-          Merebaknya praktek nikah mut’ah dihalalkannya oleh sementara kalangan masyarakat di Indonesia, merupakan fenomena berbahayanya, karena: menumbuhkan sikap yag merendahkan ajaran Islam; merendahkan derajat wanita; mengacaukan nasab serta menimbulkan masalah kesehatan masyarakat; dan
-          Agresifitas ajaran Syi’ah sangat berbahaya, karena pada suatu waktu akan menimbulkan gangguan keamanan dan peluang konflik Syi’ah-Sunnah seperti terjadio di beberapa kawasan dunia. Adalah Al-Irsyad Al-Islamiyyah dalam Muktamarnya ke-36 bulan Oktober 1996 di Pekalongan yang telah melahirkan himbauan kepada pemerintah untuk melarang ajaran Syi’ah berkemabang di Indonesia.
(H. Geys Amar, SH. (Ketua Umum) Masdoen Pranoto (Sekjen), Pimpinan Al Irsyad Al Islamiyyah, Mengapa kita menolak Syi’ah hal. xxii-xxiii, tanggal 12 Rajab 1418 H/ 13 November 1997)

9.         Sambutan Yayasan Al Bayyinat
Jerih payah LPPI dan para tokoh Islam di Jakarta mengadakan seminar Nasional tentang Syi’ah di masjid Istiqlal, ternyata telah membuahkan hasil yang mengggembirakan dan tidak ternilai. Sehingga masyarakat yang dahulunya tidak mengatahui apa dan bagaimana Syi’ah itu, menjadi faham. Karena dalam seminar tersebut di bahas bagaimana sebenarnya akidah Syi’ah Imamiyah Itsna ‘asyariyah, serta bahayanya bagi agama, bangsa dan Negara.
Jika sebelum seminar tersebut banyak orang mengira bahwa perbedaan antara Syi’ah dan Ahlus Sunnah sekedar dalam masalah Furuiyyah (cabang) saja, seperti perbedaan antara Mazhab Syafi’i dan Mazhab Maliki, maka dengan diadakannya Seminar tersebut, kini masyarakat mulai memahami bahwa perbedaan antara Syi’ah dan AhlussSunnah bukan hanya dalam masalah furuiyyah saja tapi disamping masalah furuiyyah juga dalam ushul (pokokS). Rukun iman Syi’ah berbeda dengan Rukun iman Ahlus Sunnah, begitu pula rukun Islam Syi’ah berbeda dengan rukun islam Ahlus Sunnah. Bahkan syahadatnya pun berbeda. Dimana jika syahadat Ahlus Sunnah berbentuk dua kalimat syahadat atau syahadatain, tapi bagi Syi’ah Imamiyah Itsna’asyariyah berbentuk tiga kalimat syahadat yaitu disamping Asyhadu Anla Ilaha Illallah wa Asyhadu Anna Muhammasar Rasulullah masih ditambah dengan menyebut dua belas iamam-imam mereka.
Selanjutnya agar apa yang sudah dihasilkan oleh seminar tersebut dapat diketahui oleh masyarakat, serta dapat dipakai sebagai rujukan bagi siapa saja yang ingin mengkaji Syi’ah, maka kami atas nama Yayasan Al Bayyinat merasa gembira dan mendukung dibukukannya Makalah-makalah dalam seminar tersebut.
Semoga buku hasil seminar ini dapat menambah wawasan pembaca mengenai Syi’ah Imamiyah Itsna’asyariyah, atau yang sekarang menggunakan nama samaran Mazhab Ahlul Bait. (Achmad Zein Alkaff (Ketua Bidang Organisasi), Pimpinan Pusat Al Bayyinat, Mengapa kita menolak Syi’ah hal. xxv tanggal 10 November 1997)

10.     Sambutan Majelis Ulama Indonesia Pusat
“Adapun masalah Syi’ah yang pada hari ini diseminarkan, Alhamdulillah pada tahun 1993 bulan April, ulam-ulama Indonesia diundang beSrkumpul di Brunei Darussalam. Dari Malaysia, dari Singapura dari Indonesia dan Brunei tuan rumahnya. Dari Indonesia saya ingat, kita menyusun suatu delegasi yang cukup kuat waktu itu, termasuk Rais Aam NU, KH. Ilyas Ruhiat, Alm. KH. Azhar Basyir, Ketua Umum Muhammadiyah dari Yogya, beliau masihS hidup waktu itu, saya sendiri dari Majelis Ulama. Kita berkumpul disana, bersama seluruh ulama dari Malaysia, Singapura, dan Brunei. Kita mengadakan seminar, namanya seminar Aqidah. Ini bukunya, masih saya simpan. Jadi, semua berikrar pada waktu itu, delegasi dari empat Negara, bahwa kita harus menyelamatkkan kawasan tanah air kita ini, dari aqidah menyimpang. Ada dua keputusan waktu itu, ijma’nya ulama-ulama empat Negara ini. Yang pertama, kita ini Sunni, Ahlussunnah wal Jamaah. Baik Malaysia, Indonesia, Singapura, Brunei, adalah Sunni. Kita bukan Syi’i. itu jelas. Itu ikrar kita, pada waktu itu bersama-sama dalam seminar itu.
Kemudian yang kedua adalah mazhab dalam fiqih. Semua sepakat pada waktu itu, mazhab kita mazhab Syafi’i namun di izinkan untuk pindah dari Syafi’I, tetapi tidak keluar dari salah satu mazhab yang empat. Itu keputusan diBrunei. Saya kira ikrar ulama-ulama kita ini penting. Sebab yang hadir adalah ulama-ulama yang membawa aspirasi ummat seluruh tanah air dari empat Negara, baik Malaysia, baik Brunei.
Brunei, sebagai Negara kecil, dia ketat sekali menjaga tentang Syi’ah ini. Dia jaga di imigrasi. Kalau masuk Brunei kalau dia curiga apa orang itu Syi’ah, apa ahmadiyah, ia akan ditolak di imigrasi dan hari itu juga akan dikeluarkan dia, dikembalikan dia, tidak diterima dia masuk kedalam negeri Brunei. Praktek ini dilakukan di Brunei. Mereka hanya Negara kecil, begitu, orangnya sedikit, tapi punya banyak uang. Jadi, dia dapat menyelanggarakan ini dengan baik. Kita belum sampai kesana. Di Imigrasi tidak ditanya apa mazhab saudara, apakah Syi’ah apakah Sunni, belum lagi itu. paling-paling yang ditanya: “Bawa Ekstasi atau narkotik?”
Kalau dari segi ajaran bahaya Syi’ah melebihi ekstasi dan narkotik. Sebab, dia merecuni aqidah. Kalau ekstasi dan narkotik dia meracuni fisik, fisik manusia. Tapi kalau aqidah diracuni, itu sangat berbahaya sekali bagi manusia.
…Majelis ulama pernah memutuskan bahwa aqidah Syi’ah ini tidak benar. Kemudian kita didatangi duta-duta besar dari mana-mana. Yang satu mendukung kita, bagus sekali. Tapi satu duta besar yang datang: “kenapa kok tidak menyetujui Syi’ah?”. Saya katakan: “Kami menyelamatkan aqidah kami, menyelamatkan umat kami”.
Itu yang diputuskan Majelis Ulama. Jadi jangan dibawa-bawa masalah politik apalagi politik Negara ini masing-masing ada masalah. Jadi jangan dibawa-bawa. Murni kita pada hari ini, secara ilmiah, membicarakan Syi’ah ini, dengan kepala dingin. Tunjukkan.  (KH. Hasan Basri, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Pusat, Mengapa kita menolak Syi’ah hal. xxx-xxxiii, tanggal 19 Jumadil ‘Ula 1418H/ 21 September 1997 M)
(Muis/LPPIMakassar.blogspot.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar