Komentar Beberapa
Tokoh Islam Tentang Syi’ah
1.
Pengantar Ketua LPPI Pusat
“Oleh karenanya,
bilamana ada doktor yang mengatakan, antara Syi’ah dan Sunni itu sama saja,
sebab hanya ada perbedaan fiqih semata, maka itu menunjukkan doktor tersebut
tidak mengerti sama sekali tentang Syi’ah dan juga tidak mengerti tentang Sunni
(tidak mengerti tentang Agama, tentang Islam).
Dan sehubungan dengan
itulah, kumpulan makalah ini dibukukan dan kemudian diterbitkan, karena sangat perlu
dibaca kaum muslimin bangsa Indonesia, agar supaya mereka terhindar dari
kesesatan Syi’ah. Sebab, kalau boleh ditamsilkan Syi’ah itu dengan sekaleng
makanan, maka kaleng makanan tersebut sesungguhnya adalah berisi daging babi,
namun label dan kemasannya ditulis daging sapi murni serta seratus persen
halal. Jadi, semua serba penipuan, sama halnya dengan pelacuran yang kemudian
dikemas dengan istilah nikah mut’ah, kemunafikan dan kebohongan dikemas dengan
istilah taqiyah.
Akhirnya demikianlah
kata pengantar ini kami sampaikan, semoga kita semua terpelihara dari kesesatan
dan penyesatan Syi’ah, ajaran sesat yang berkedok Islam, musuh dalam selimut
kaum muslimin, kita harus dan perlu mewaspadainya” (H. M. Amin Jamaluddin,
ketua LPPI Pusat, Mengapa kita Menolak Syi’ah, hal: XI-XII, 16 November
1997)
“Saya sampaikan
penghargaan setinggi-tingginya kepada LPPI yang telah bekerja keras
mengumpulkan bahan-bahan untuk penerbitan buku tersebut. Akhirnya saya berharap
semoga buku tersebut dapat dibaca oleh umat Islam Indonesia dalam upaya
membendung paham Syi’ah di Indonesia” (KH. Hasan Basri, Ketua MUI Pusat, Mengapa
kita Menolak Syi’ah, 8 Januari 1998, hal: XIII)
3.
Ketua PP Muhammadiyah
“Kami berpendapat,
bahwa ada kelemahan dan kekurangan dari golongan Syi’ah itu. Oleh sebab itu
kepada segenap umat Islam dianjurkan untuk mempelajarinya secara kritis dengan
menjadikan Al Quran dan Al Sunnah Al Shahihah sebagai alat dan standar
penelitiannya” (Dr. Amin Rais, ketua PP Muhammadiyah, Mengapa kita Menolak
Syi’ah, hal: XIV)
4.
Ketua PBNU
“Syuriah PBNU di
Jakarta menganggap penting dibukukannya makalah-makalah tentang Syi’ah yang
disampaikan pada Seminar Nasional Sehari tentang Syi’ah pada tanggal, 21
September 1997 di aula masjid Istiqlal Jakarta.
Karena
makalah-makalah itu memuat penjelasan yang akurat tentang hakikat aqidah dan
ajaran Syi’ah yang diangkat dari buku-buku Syi’ah yang standar (Mu’tabarah).
Maka
kumpulan-kumpulan ini perlu dibaca dan dipahami oleh kaum muslimin, terutama
para intelektualnya, agar mengetahui secara jelas perbedaan yang prinsipil
antara Ahlus Sunnah dan Syi’ah, tak terkecoh oleh obrolan
propagandis-propagandis Syi’ah, yang menyamakan Syi’ah dengan Ahlus Sunnah wal
Jamaah” (PBNU, Rais Aam: KH. M. Ilyas Ruhiat, Katib Aam: KH. Drs. M. Dawam
Anwar, Mengapa kita Menolak Syi’ah, 14 Oktober 1997, hal: XV)
5.
PP PERSIS
“Perbedaan paradigma
yang dimaksud adalah paradigma tentang kedudukan sahabat Nabi. Mayoritas
sahabat Nabi menurut paradigma Syi’ah adalah para pengkhianat dan karena itu,
para sahabat diberi gelaran tidak senonoh dan tidak ada sopan santun sama
sekali. Menurut penilaian mereka hanya sebagian kecil saja di antara para
sahabat yang dianggap jujur, yaitu antara lain: Abu Dzar, Salman al Farisi, dan
Miqdad bin Aswad. Para sahabat besar, seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman bin
Affan (walaupun yang terakhir ini masih menantu Nabi pula) dilihat sebelah
mata, dihina, bahkan dicaci maki sebagaimana akan ditemukan dalam
makalah-makalah yang akan dibaca nanti. Padahal Al Quran dan Hadits menempatkan
sahabat sedemikian mulia karena perjuangan mereka dalam membela Islam. Salah
seorang imam mereka di abad modern ini, misalnya, yang dikultuskan sebagai imam
yang agung itu oleh para pengagumnya, ternyata ucapannya, tidak lepas pula dari
cacian tersebut, sebagaimana ia ucapkan kepada Abu Bakar ra. dan Umar ra. yang
menyebutkannya sebagai ‘Dua Berhala Quraisy’. Istri Rasul yang
dihormati, yaitu Aisyah dan Hafshah yang digelari Ummul Mukminin disebut
sebagai ‘Dua Puteri Berhala Quraisy’. Suatu ucapan yang tidak layak
dikeluarkan oleh seorang intelektual dan pemimpin bangsa” (PERSIS, Ketua Bid.
Tarbiyah: Dr. H. M. Abdurrahman, MA, Sekretaris Umum: H. Emon Sastranegara, Mengapa
kita Menolak Syi’ah, 15 Oktober 1997, hal: XIX)
6.
Sambutan Ketua LPPI Pusat
“Sebagaimana
dimaklumi, bahwa LPPI adalah sebuah lembaga yang mengkhususkan diri untuk
meneliti aliran-aliran sempalan yang muncul di Indonesia, kemudian kami
melaporkannya kepada MUI Pusat, Departemen Agama RI, Kejaksaan Agung RI, serta
pihak-pihak yang terkait yang ada hubungannya dengan masalah yang dihadapi.
Ada salah satu
wartawan ibu kota yang bertanya kepada kami, pertanyaannya antara lain:
‘Tidakkah dengan menyelenggarakan Seminar Nasional Sehari tentang Syi’ah ini,
bisa menimbulkan perpecahan di antara umat Islam Indonesia?’. Kami menjawab:
Rumusan persatuan itu apa?, sebab masalah sekarang ini di Indonesia, seumpama
kebun, sebidang kebun. Kebun isinya Ahlus Sunnah. Yang punya Ahlus Sunnah, sudah
turun temurun dari dulu. Sekarang datang orang-orang Syi’ah dan menggarap kebun
yang berisi Ahlus Sunnah, milik Ahlus Sunnah. Datang yang punya, yang punya
kebun. ‘jangan digarap ini kebun, ini milik kami, kebun kami sejak dulu
turun-temurun’. Tapi orang-orang Syi’ah tetap bersikeras untuk menggarap.
Akhirnya terjadi cekcok. Maka dalam hal ini, yang salah siapa? Yang
mempertahankan kebun haknya, yang salah, ataukah yang menggarap kebun orang,
itu yang salah?.
Kalau menggarap boleh
saja menggarap namun jangan di kebun orang, tetapi yang masih hutan rimba di
sana, kita sama-sama menggarap hutan rimba yang belum diisi atau dimiliki oleh
orang lain. Itulah jawaban saya terhadap salah satu wartawan tersebut.” (H. M.
Jamaluddin Amin, Ketua LPPI Pusat, Mengapa kita Menolak Syi’ah, hal:
XXVII-XXVIII)
7.
Kata Sambutan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
-
Membaca kesimpulan tersebut, memang terdapat dengan terang beberapa
penyimpangan ajaran Syi’ah, terutama dari segi aqidah dan ibadah. Kesimpulan seminar
nasional sehari tentang Syi’ah tersebut perlu sekali ditindak lanjuti dengan
upaya-upaya yang terprogram, guna membentengi umat dari ajaran sesat ini, serta
menjaga keutuhan umat dan bangsa dari kemungkinan terjadinya perpecahan.
-
Dalam buku “Syi’ah dan Sunnah” karangan Prof. Dr. Ihsan Ilahi Zahir, MA,
yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Bey Arifin, diterbitkan oleh
PT. Bina Ilmu Surabaya cetakan pertama tahun 1984, dapat kita simak setumpuk
besar masalah mengenai perbedaan antara Ahlus Sunnah dan golongan Syi’ah.
-
Mengantar penerbitan buku tersebut, almarhum Bapak Muhammad Natsir
memberi sambutan dengan judul “Kata Berjawab”.
Antara lain beliau
mengatakan:
Kalau perkembangan
sudah demikian (pengaruh ajaran seesat dari Syi’ah, pen), apakah para alim
ulama kita di Indonesia bisa mendiamkan saja?
Tidak bisa dan tidak
boleh!
Mereka, alim ulama
adalah, sebagaimana yang dilukiskan dalam Al Quran:
Yakni satu golongan
yang fungsinya memperdalami ilmu agama dan memberi ingat kepada kaum mereka
bila mereka kembali, agar mereka ini senantiasa waspada. Ini tugas alim ulama.
Kata berjawab, gayung
bersambut, yaitu: Secara bijaksana (bilhikmah), dalam rangka pendidikan (wal
mau’izhah Al-hasah) dan bertukar pikiran, bertukar hujjah dan alasan
(mujaddalah billati hiya ahsan)dengan cara yang terbaik”.
-
Melihat perkembangan akhir-akhir ini, dimana komunikasi informasi melalui media
cetak dan elektronik yang semakin canggih bisa dimanfaatkan untuk berbagai
tujuan, maka setiap orang maupun golongan dapat dengan mudah menyodorkan idea
dan keyakinannya kepada orang lain, terutama kepada anak-anak muda yang belum
punya pegangan hidup yang mantap. Demikian pula umat kita yang tergolong
”dhu’afa” yang lemah dalam bidang ekonomi, ilmu pengetahuan dan lebih-lebih
dalam bidang aqidah dan ibadah, dengan mudah menjadi sasaran yang empuk dari
ajaran-ajaran yang sesat.
-
Disinilah letaknya tugas berat dari para Ulama, Zu’ama, para pendidikan dari
Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi para muballigh dan da’i di lapangan,
untuk selalu waspada dan berusaha keras membentengi umat dari segala macam
pengaruh yang merusak agama dan memecah belah persatuan umat dan bangsa. Dan
tak kurang pula -tentunya- adalah menjadi tanggung jawab dari para Umara
(Pemerintah) dari pusat sampai ke daerah, dari kota sampai desa di seluruh
wilayah tanah air ini. (H. Hasanuddin Abu Bakar, Sekretaris DDII Pusat, Mengapa
kita Menolak Syiah, hal: xx-xxi)
8.
Sambutan Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyyah
“…Diharapkan hasil
cetakan dapat disebarluaskan kepada seluruh lapisan masyarakat agar lebih
memahami hakekat ajaran Syi’ah, dengan demikian menyadari betapa berbahayanya
paham tersebut apabila menyebar dan tersebar luas di Indonesia. “
Mengapa Berbahaya?
-
Umat Islam Indonesia merupkan Ahlus Sunnah yang mempunyai perbedaan aqidah,
fiqiyyah dan akhlak yang asasi dengan aliran Syi’ah, seperti: masalah imamah,
martabat, ke-ma’shum-an; pandangan yang merendahkan terhadap
Khulafa-ur-Rasyidin selain Khalifah Ali bin Abi Thalib; kebiasaan bertaqiyyah
dan sebagainya. Perbedaan itu sulit dipertemukan apalagi dikompromikan.
-
Merebaknya praktek nikah mut’ah dihalalkannya oleh sementara kalangan
masyarakat di Indonesia, merupakan fenomena berbahayanya, karena: menumbuhkan
sikap yag merendahkan ajaran Islam; merendahkan derajat wanita; mengacaukan
nasab serta menimbulkan masalah kesehatan masyarakat; dan
-
Agresifitas ajaran Syi’ah sangat berbahaya, karena pada suatu waktu akan
menimbulkan gangguan keamanan dan peluang konflik Syi’ah-Sunnah seperti
terjadio di beberapa kawasan dunia. Adalah Al-Irsyad Al-Islamiyyah dalam
Muktamarnya ke-36 bulan Oktober 1996 di Pekalongan yang telah melahirkan
himbauan kepada pemerintah untuk melarang ajaran Syi’ah berkemabang di
Indonesia.
(H. Geys Amar, SH.
(Ketua Umum) Masdoen Pranoto (Sekjen), Pimpinan Al Irsyad Al Islamiyyah, Mengapa
kita menolak Syi’ah hal. xxii-xxiii, tanggal 12 Rajab 1418 H/ 13 November
1997)
9.
Sambutan Yayasan Al Bayyinat
Jerih payah LPPI dan
para tokoh Islam di Jakarta mengadakan seminar Nasional tentang Syi’ah di
masjid Istiqlal, ternyata telah membuahkan hasil yang mengggembirakan dan tidak
ternilai. Sehingga masyarakat yang dahulunya tidak mengatahui apa dan bagaimana
Syi’ah itu, menjadi faham. Karena dalam seminar tersebut di bahas bagaimana
sebenarnya akidah Syi’ah Imamiyah Itsna ‘asyariyah, serta bahayanya bagi agama,
bangsa dan Negara.
Jika sebelum seminar
tersebut banyak orang mengira bahwa perbedaan antara Syi’ah dan Ahlus Sunnah
sekedar dalam masalah Furuiyyah (cabang) saja, seperti perbedaan antara Mazhab
Syafi’i dan Mazhab Maliki, maka dengan diadakannya Seminar tersebut, kini
masyarakat mulai memahami bahwa perbedaan antara Syi’ah dan AhlussSunnah bukan
hanya dalam masalah furuiyyah saja tapi disamping masalah furuiyyah juga dalam
ushul (pokokS). Rukun iman Syi’ah berbeda dengan Rukun iman Ahlus Sunnah,
begitu pula rukun Islam Syi’ah berbeda dengan rukun islam Ahlus Sunnah. Bahkan
syahadatnya pun berbeda. Dimana jika syahadat Ahlus Sunnah berbentuk dua
kalimat syahadat atau syahadatain, tapi bagi Syi’ah Imamiyah Itsna’asyariyah
berbentuk tiga kalimat syahadat yaitu disamping Asyhadu Anla Ilaha Illallah wa
Asyhadu Anna Muhammasar Rasulullah masih ditambah dengan menyebut dua belas
iamam-imam mereka.
Selanjutnya agar apa
yang sudah dihasilkan oleh seminar tersebut dapat diketahui oleh masyarakat,
serta dapat dipakai sebagai rujukan bagi siapa saja yang ingin mengkaji Syi’ah,
maka kami atas nama Yayasan Al Bayyinat merasa gembira dan mendukung
dibukukannya Makalah-makalah dalam seminar tersebut.
Semoga buku hasil
seminar ini dapat menambah wawasan pembaca mengenai Syi’ah Imamiyah
Itsna’asyariyah, atau yang sekarang menggunakan nama samaran Mazhab Ahlul Bait.
(Achmad Zein Alkaff (Ketua Bidang Organisasi), Pimpinan Pusat Al Bayyinat, Mengapa
kita menolak Syi’ah hal. xxv tanggal 10 November 1997)
10.
Sambutan Majelis Ulama Indonesia Pusat
“Adapun masalah
Syi’ah yang pada hari ini diseminarkan, Alhamdulillah pada tahun 1993 bulan
April, ulam-ulama Indonesia diundang beSrkumpul di Brunei Darussalam. Dari
Malaysia, dari Singapura dari Indonesia dan Brunei tuan rumahnya. Dari
Indonesia saya ingat, kita menyusun suatu delegasi yang cukup kuat waktu itu,
termasuk Rais Aam NU, KH. Ilyas Ruhiat, Alm. KH. Azhar Basyir, Ketua Umum
Muhammadiyah dari Yogya, beliau masihS hidup waktu itu, saya sendiri dari
Majelis Ulama. Kita berkumpul disana, bersama seluruh ulama dari Malaysia,
Singapura, dan Brunei. Kita mengadakan seminar, namanya seminar Aqidah. Ini
bukunya, masih saya simpan. Jadi, semua berikrar pada waktu itu, delegasi dari
empat Negara, bahwa kita harus menyelamatkkan kawasan tanah air kita ini, dari
aqidah menyimpang. Ada dua keputusan waktu itu, ijma’nya ulama-ulama empat
Negara ini. Yang pertama, kita ini Sunni, Ahlussunnah wal Jamaah. Baik
Malaysia, Indonesia, Singapura, Brunei, adalah Sunni. Kita bukan Syi’i. itu
jelas. Itu ikrar kita, pada waktu itu bersama-sama dalam seminar itu.
Kemudian yang kedua
adalah mazhab dalam fiqih. Semua sepakat pada waktu itu, mazhab kita mazhab
Syafi’i namun di izinkan untuk pindah dari Syafi’I, tetapi tidak keluar dari
salah satu mazhab yang empat. Itu keputusan diBrunei. Saya kira ikrar
ulama-ulama kita ini penting. Sebab yang hadir adalah ulama-ulama yang membawa
aspirasi ummat seluruh tanah air dari empat Negara, baik Malaysia, baik Brunei.
Brunei, sebagai
Negara kecil, dia ketat sekali menjaga tentang Syi’ah ini. Dia jaga di
imigrasi. Kalau masuk Brunei kalau dia curiga apa orang itu Syi’ah, apa
ahmadiyah, ia akan ditolak di imigrasi dan hari itu juga akan dikeluarkan dia,
dikembalikan dia, tidak diterima dia masuk kedalam negeri Brunei. Praktek ini
dilakukan di Brunei. Mereka hanya Negara kecil, begitu, orangnya sedikit, tapi
punya banyak uang. Jadi, dia dapat menyelanggarakan ini dengan baik. Kita belum
sampai kesana. Di Imigrasi tidak ditanya apa mazhab saudara, apakah Syi’ah
apakah Sunni, belum lagi itu. paling-paling yang ditanya: “Bawa Ekstasi atau
narkotik?”
Kalau dari segi
ajaran bahaya Syi’ah melebihi ekstasi dan narkotik. Sebab, dia merecuni aqidah.
Kalau ekstasi dan narkotik dia meracuni fisik, fisik manusia. Tapi kalau aqidah
diracuni, itu sangat berbahaya sekali bagi manusia.
…Majelis ulama pernah
memutuskan bahwa aqidah Syi’ah ini tidak benar. Kemudian kita didatangi
duta-duta besar dari mana-mana. Yang satu mendukung kita, bagus sekali. Tapi
satu duta besar yang datang: “kenapa kok tidak menyetujui Syi’ah?”. Saya
katakan: “Kami menyelamatkan aqidah kami, menyelamatkan umat kami”.
Itu yang diputuskan
Majelis Ulama. Jadi jangan dibawa-bawa masalah politik apalagi politik Negara
ini masing-masing ada masalah. Jadi jangan dibawa-bawa. Murni kita pada hari
ini, secara ilmiah, membicarakan Syi’ah ini, dengan kepala dingin. Tunjukkan.
(KH. Hasan Basri, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Pusat, Mengapa
kita menolak Syi’ah hal. xxx-xxxiii, tanggal 19 Jumadil ‘Ula 1418H/ 21
September 1997 M)
(Muis/LPPIMakassar.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar